Kalau Anda punya pengalaman sebagai pengungsi, imigran, entah karena bencana alam, konflik, perang, mungkin itu bisa berbicara kepada Anda apa arti papan untuk berteduh. Hidup tanpa papan itu pahit dan bisa jadi merendahkan kualitas hidup orang karena membongkar kerapuhan atau ketidakberdayaan orang semata, entah sebagai individu atau komunitas. Dengan papan itu, orang dipermudah, diproteksi, selain bisa menerima orang lain sebagai tamu di tempat tinggalnya.
Dalam sejarah Israel ditunjukkan juga bagaimana Allah tinggal di tengah-tengah umat-Nya. Sewaktu bangsa itu tinggal dalam tenda di padang gurun, juga Allah bersemayam di dalam tenda-Nya. Ketika bangsa itu mulai menetap di tanah Palestina, juga Allah oke-oke saja tinggal di bait-Nya yang dibuat dari batu bata atau apa pun bahannya. Tak mengherankan, Salomo membangun rumah ibadat yang megah.
Akan tetapi, orang-orang Yahudi tentu saja tidak naif dalam keyakinan bahwa Allah hanya tinggal dalam bait yang dibangun Salomo. Mereka sadar bahwa Allah tinggal di mana saja. Kehadiran-Nya tak bisa dibatasi oleh dinding bait Allah, semegah apa pun dinding itu. Meskipun demikian, mereka mengerti bahwa Allah suka berelasi dengan manusia dan justru karena kesukaan-Nya untuk berjumpa dengan manusia, Dia oke-oke saja bahwa manusia membangun rumah Allah dengan aneka macam dimensi.
Guru dari Nazareth membawa berita heboh: bait Allah sejati itu adalah dirinya sendiri! Nah, di sini timbul masalah ketika orang mulai berpikir linear dan material belaka, alih-alih berpikir heuristik. Berita besar bahwa bait Allah sejati itu adalah dirinya sendiri dipelintir sebagai pernyataan bahwa Guru dari Nazareth itu adalah (bait) Allah sendiri. Padahal, Guru dari Nazareth ini, sebagai orang Yahudi, tahu persis bahwa Allah tidak pernah bisa direduksi pada ‘bangunan’ fisik material tertentu, termasuk tubuhnya sendiri dong.
Dengan demikian, kalau hendak meyakini bahwa Guru dari Nazareth ini adalah bait Allah yang sejati, orang mesti memahami tubuh bukan dalam arti fisik material, melainkan tubuh mistik. Itulah maksud orang Kristiani menggunakan frase tubuh mistik Kristus. Itu memang terhubung dengan Guru dari Nazareth tetapi bukan karena badannya yang kurus kerempeng berjanggut berambut panjang dan terus jadi kontroversi, melainkan karena yang disodorkan dalam teks hari ini: kalau orang mencintai Allah, ia hidup menurut firman-Nya. Dalam kepercayaan Kristiani, firman-Nya adalah peristiwa Yesus: seluruh ajaran dan kesaksian hidupnya sendiri.
Amat disayangkan jika orang ribut tentang konstruksi rumah ibadat. Lebih bermanfaat kiranya orang berpaling pada rumah ibadah dari tulang dan daging, seperti diteladankan oleh Guru dari Nazareth itu. Dengan demikian, rumah Allah itu adalah siapa saja yang di kedalaman hatinya connect dengan firman Allah. Allah tinggal di sana, dalam kekonkretan hidup orang, termasuk luka dan penderitaannya, yang mengundang solidaritas sesamanya.
Guru dari Nazareth menyatakan bahwa rumah tinggal kesukaannya, alih-alih rumah ibadat senilai sekian (puluh) milyar rupiah, ialah ‘tulang dan daging’ orang, yang bisa lapar dan haus, yang berserakan di mana-mana dan memanggil orang beriman untuk bertindak. Bisa jadi rumah ibadah memang berbeda dari rumah ibadat.
Ya Allah, mohon rahmat supaya hidup kami menjadi rumah ibadah-Mu, khususnya bagi para korban ketidakadilan. Amin.
HARI MINGGU PASKA VI C/1
26 Mei 2019
Kis 15,1-2.22-29
Why 21,10-14.22-23
Yoh 14,23-29
Posting Minggu Paska VI B/1 2015: Cinta Mati nan Menghidupkan
Posting Minggu Paska VI A/2 2014: Haji Heribertus
Categories: Daily Reflection