Pernah gak sih Anda nonton film yang tokohnya ditembak tapi pelurunya mental setelah kena badannya atau ditusuk sampai tembus tapi setelah tombaknya dicabut badannya fine-fine aja? Sepertinya di film Aquaman, Black Panther atau yang Avenger-avenger gitu ada ya.
Gak usah di film, Rom, tetangga saya bisa tuh ditusuk pisau, pisaunya bengkok.😯
Ada juga tetangga lain yang ditusuk jarum malah makin sehat.😂
Iki omong opo toh?
Memang saya bertanya-tanya seperti apa ya kebangkitan badan itu. Kalau jadi hantu, ngapain makan segala? Ke mana juga itu pizza yang ditelannya? Apakah hantu butuh toilet untuk membuang hasil pencernaannya? Kalau tidak, apa dia gak sembelit dan jadi sebah perutnya ya?
Kalau tidak jadi hantu dan terkena hukum materi, Guru dari Nazareth ini apa gak mlonyoh tersengat panasnya matahari waktu terangkat naik ke surga?
Begitulah pertanyaan-pertanyaan yang muncul karena otak saya ya masih terkena hukum materi; dan itu pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya cuma memuaskan lapar dan haus materi, bukan yang mengenyangkan jiwa, ciyeh. Untuk mengenyangkan jiwa, mendingan melihat teks yang disodorkan hari ini.
Dalang daripada dua teks bacaan hari ini diduga sama: Lukas. Bacaan pertama adalah bagian awal Kisah Para Rasul yang merangkum kembali tulisan Injil Lukas. Dia menyapa pembacanya dengan nama Teofilus. Dulu saya tak mengerti siapa sebenarnya Teofilus yang dituju penulis Lukas ini. Lama-lama saya menangkap bahwa itu dekat dengan cinta-cintaan gitu deh. Teo jelas kiranya berarti Tuhan. Filus itu dekat-dekat dengan filia yang kata kerjanya berarti mencintai, seperti jawaban Petrus yang diberikan kepada Guru dari Nazareth ketika bertanya apakah Petrus itu mencintainya.
Berarti, Teofilus itu tak lain adalah siapa saja yang mencintai Allah: sahabat Allah. Kepada sahabat Allah itu Lukas memberikan pewartaan yang hari ini oleh Gereja di Indonesia diperingati sebagai hari Kenaikan Tuhan. Memang menjelang kenaikan kelas!
Siapakah sahabat Allah itu? Ya Anda pembacanyalah, siapa lagi?
Apa pewartaannya?
Teks bacaan pertama menuturkan peristiwa di Galilea sejak Paska selama 40 hari sampai Kenaikan Tuhan. Nah, mengenai Paska, mengenai kebangkitan, Anda sudah tahu maksudnya bukan sesederhana orang mati suri atau mayat gentayangan keluar dari kubur. Bukan hal-hal kèk gitu itu yang jadi fokus perhatian orang beriman.
Mengenai Kenaikan Tuhan?
Sama saja, itu akan ditangkap dengan otak material kita seakan-akan Guru dari Nazareth itu dari puncak gunung melesat bak pesawat pelontar satelit ke surga di atas sana, tempat tinggal Allah. Apakah surga macam begitu ada? Asudahlah, kalau memang Allah itu tinggal di surga, surga itu ya tentu balik lagi ke konteks kita yang hidup di sini dan sekarang ini.
Bahkan meskipun Gereja Katolik punya syahadat atau credo berbunyi “Ia naik ke surga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa” itu tidak berarti di surga sana ada tahta atau kursi kepresidenan. Itu ‘cuma’ keyakinan bahwa sepak terjang Guru dari Nazareth itu mendapat restu atau konsekuensi hidayah dari Allah.
Alhasil, kalau dikatakan di akhir teks bacaan pertama itu Guru dari Nazareth akan datang seperti kenaikannya, dan dalam credo Kristen dinyatakan “dari situ ia akan datang mengadili orang hidup dan mati” (sebagaimana teks Islam merujuk kedatangan Nabi Isa), tak perlu juga meributkan siapa sosok ini dan kapan ia datang kembali. Pentingkah? Yang lebih penting justru mempertimbangkan apa yang dibuat Guru dari Nazareth yang akan datang kembali ini. Jawabannya ada pada bacaan kedua: jadi semacam pembela kita (bukan minta dibela) di dunia ini supaya kita benar-benar bisa jadi sahabat Allah seperti dia dulu di dunia material.
Kalau begitu, Kenaikan Tuhan juga punya makna bahwa meskipun pergi kepada Allah (begitu bunyi teksnya), orang beriman tak kehilangan perhatian pada hiruk pikuk dunia (konteksnya). Dengan begitu, identitas sahabat Allah ditunjukkan. Sahabat Allah tidak lari dari dunia dan Allahnya. Amin.
HARI RAYA KENAIKAN TUHAN C/1
30 Mei 2019
Kis 1,1-11
Ef 1,17-23
Luk 24,46-53
Posting 2016: Mari Move On dari Mantan
Categories: Daily Reflection