Kalau Anda berbuat baik kepada orang lain dan dia membalasnya dengan kejahatan, bisa dimengerti kalau kemudian Anda berpencak silat, entah Anda presiden atau bukan. Akan tetapi, kalau Anda berbuat baik kepada orang lain dan orang lain itu memberi kritik kepada Anda, sewajarnya Anda mendengarkan kritiknya dan kalau perlu tak usah jadi baper. Kenapa? Karena hakikat kritik bukanlah kejahatan, bukan kriminal, bukan pencemaran nama baik, melainkan justru perspektif lain yang menunjukkan kemungkinan untuk memperbaiki diri. Nah, bahwa cara penyampaian kritiknya bisa jadi kriminal, itu lain perkara.
Yang paling hangat tentu saja gambar bayangan Pinokio di cover sebuah majalah nasional. Saya tidak tahu penggambar bayangan Pinokio itu siapa, tetapi bisa saja dibuat orang yang berkerohanian Pinokio. Kalau orang bersemangat Pinokio memberi kritik, apakah kritiknya sendiri bukan kritik ala Pinokio? Dengan kata lain, kalau di balik kritik itu ada kepentingan tersembunyi si pengkritik, seberapa valid kritik itu jadinya? Bukankah pihak mana pun bisa melancarkan kritik, masing-masing menurut hidden agendanya, dan dengan begitu, tak jelas lagi mana yang sesungguhnya pantas dikritik, mana Pinokio sesungguhnya?
Di sini, semakin ditegaskan pentingnya pembedaan roh, dan roh bukanlah objek konkret seperti digambarkan dalam penghayatan kerohanian jadul pada buku ini:
Dalam diri setiap orang, saya rasa ada potensi Pinokio, berapa pun kadarnya dan seberapa jauh itu terwujud. Akan tetapi, saya tak bermaksud menulis mengenai Pinokio. Teks bacaan hari ini menyajikan kritik Guru dari Nazareth kepada Simon, seorang anggota kelompok Farisi, yang mengundangnya makan. Dari situ sudah kelihatan bahwa si Guru ini punya kemerdekaan batin, tidak terhambat rasa sungkan untuk menyampaikan kritik terhadap orang yang berbuat baik kepadanya. Tak cuma kemerdekaan batin, ia menyampaikan kritik secara elegan, dan tidak ad hominem, apalagi menyebarkannya via majalah kampung.
Ia mengajak Simon untuk berefleksi bagaimana orang beriman bersikap, bukan atas dasar hukum belaka, melainkan atas semangat yang mendasari hukum itu sendiri. Kritik Guru dari Nazareth ini dibalut dengan metafora yang sangat lugas dan Simon sendiri tahu jawabannya: orang yang mengalami pengampunan lebih besar, akan berbuat kasih lebih besar lagi. Simon memberikan cinta dan syukurnya dengan mengundang Guru dari Nazareth untuk makan-makan. Perempuan yang menyeruak masuk ke jamuan makan itu mengungkapkan cinta dan syukurnya dengan air mata, ciuman (ke kaki ya, Bu’), dan parfum.
Apakah nilai jamuan makan lebih kecil dari air mata, ciuman, dan parfum? Bisa jadi. Akan tetapi, poinnya tentu bukan nilai material keduanya, melainkan nilai kehidupan yang membelakanginya. Kalau perempuan itu menyeka kaki Guru dengan rambutnya, itu berarti dia membebaskan rambutnya dari konsensus publik terhadap rambut perempuan, yang saya kira waktu itu mesti ditutup dengan semacam mantilla gitu deh. Ini simbol kemerdekaan, dan ungkapan itu diterima Guru dari Nazareth. Itu juga yang membuat Simon dalam hati mengkritik sikap Guru.
Saya kira, begitulah Guru dari Nazareth menyampaikan kritiknya: tanpa agenda tersembunyi bagi dirinya sendiri, entah psikis atau politis, tetapi supaya setiap orang mengalami kemerdekaan sejati.
Tuhan, kami mohon rahmat kemerdekaan-Mu. Amin.
KAMIS BIASA XXIV C/1
19 September 2019
Kamis Biasa XXIV B/2 2018: Lagi2 Ampun Bang
Kamis Biasa XXIV B/1 2015: Aroma Cinta
Kamis Biasa XXIV A/2 2014: Am I Really A Sinner?
Categories: Daily Reflection
You must be logged in to post a comment.