Hidup saya sudah sejak dalam kandungan mendapat sokongan dari perempuan. Sekitar sepuluh tahun lalu saya berkesempatan mengunjungi tempat di Eropa dan melihat bagaimana lembaga yang menyokong pendidikan saya beroperasi. Saya lihat beberapa perempuan di sebuah ruangan sedang memasukkan lembaran surat ke dalam amplop. Jumlahnya buanyak sekali! Saya maunya berdiskusi dengan mereka, tetapi apa mau dikata, es tut mir leid, kemampuan berbahasa saya tak mengizinkannya (wie schade), tetapi pimpinan lembaga itu menjelaskan kepada saya bahwa surat-surat itu adalah ungkapan terima kasih kepada para donatur, yang kebanyakan juga adalah perempuan (meskipun bisa jadi donasinya berasal dari gaji suami mereka sih). Tampaknya itu remeh, tetapi kalau saya menilik ke belakang, bagaimana hidup saya ditopang oleh orang-orang seperti itu, saya terperangah.
Mereka yang dikirimi surat ucapan terima kasih itu adalah yang secara berkala menyisihkan uang mereka. Berapa Anda kira yang mereka berikan kepada lembaga itu dalam sebulan? Empat sampai sepuluh Euro saja. Sepertinya banyak, tetapi itu hanyalah dua sampai empat potong pizza di Italia.
Kok bisa ya lama-lama jadi bukit banyaknya? Tentu saja, karena perempuan-perempuan yang menyisihkan uang ala kadarnya itu jumlahnya ribuan. Justru itulah yang membuat saya terperangah. Bagaimana mungkin ribuan orang secara sukarela menyisihkan uang yang tak seberapa itu secara rutin dengan komitmen yang tinggi? Ini bukan setoran pajak, bukan kewajiban untuk membangun dana abadi yang dikelola negara [dan menggairahkan tikus-tikus pendidikan, sosial, pemuda, agama, atau apalagilah untuk berebut menggerogotinya].
Saya kira yang membuat ribuan perempuan (dan mungkin laki-laki di sebelahnya) berkomitmen tinggi untuk menyisihkan sebagian uangnya ialah dorongan keterlibatan mereka untuk berkontribusi pada seperti yang dikerjakan Guru dari Nazareth. Tentu saja, itu dimungkinkan karena lembaga yang mengelola donasi mereka adalah lembaga misi yang tepercaya.
Né né né, janganlah Anda berpikir ini soal misi penyebaran agama. Tak akan saya lupakan pengalaman perdebatan sengit antara seorang teman Muslim dan Katolik yang sama-sama pernah hidup di lingkungan warga Palestina dan Israel. Hidup keduanya sama-sama disokong lembaga misi, masing-masing dengan kompetensinya. Kerja lembaga ini malah saya kira menjadi sindiran keras terhadap lembaga negara yang rawan digerogoti oleh ya itu tadi, tikus pendidikan, agama, sosial, mungkin pemuda, eaaa….
Teks bacaan hari ini menggambarkan secara umum bagaimana para perempuan berkontribusi dalam misi pewartaan Guru dari Nazareth. Entah bagaimana mau diumpamakan. Pokoknya, komunitas di sekeliling Guru dari Nazareth itu tampaknya tak terhambat pemenuhan kebutuhan dasariah: makan, minum, laundry, belanjaan, tetapi juga tak tergiur iming-iming kekayaan. Komunitas macam itu jadi skandal karena pada masa itu jelaslah perempuan marjinal. Perempuan itu ya jadi kanca wingking, urus anak dan suami. Guru dari Nazareth memberi tempat penting bagi komunitas para perempuan jagowati dalam pewartaan Kabar Baiknya tanpa menghapus peran penting mereka dalam keluarga. Perempuan macam begini adalah dana abadi, yang tak ternilai dengan besaran Euro, Dollar, dan sebagainya.
Tuhan, mohon rahmat semoga ibadah kami sungguh disertai rasa cukup dan syukur pada-Mu. Amin.
JUMAT BIASA XXIV C/1
PW Andreas Kim Taegon dkk
20 September 2019
Jumat Biasa XXIV A/1 2017: DiSKriminAsi, Go Away!
Jumat Biasa XXIV C/2 2016: Agama Sampah
Jumat Biasa XXIV B/1 2015: Fight The Good Fight
Jumat Biasa XXIV A/2 2014: Perempuan Itu…
Categories: Daily Reflection
Senang bacanya Rm Andre ngeh dan setuju kl di belakang laki2 (pinter) sukses, selalu ada perempuan hebat (dan telaten) hehe, fakta sih. Kan sejak dr tahap awal terjadinya pertemuan dua sel tsb, kualitas masa depan anak sudah mulai ditentukan, terutamanya dr gaya hidup dan maintenance si ibu. Tuhan Yesus kita demikian inklusif nya ya Mo, begitu mengerti kekuatan peran perempuan bahkan dalam mendukung pelayananNya, tanpa mereduksi peran biologis alamiah para perempuan tersebut. Hat off buat Maha Guru kita. Seandainya mayoritas yg membawa kromosom Y tsb (kalau gak semua) bisa seperti ini, hidup akan lebih imbang🙏
LikeLike