Self-Knowledge

Bertepatan dengan pesta yang dirayakan Gereja Katolik hari ini, seorang pengarang Injil, Matius namanya, saya menarik diri dari kota [ya’ ya’o tinggalnya di kota, Mo], mendekati bibir pantai selatan. Ndelalahnya, sosok Matius sebelum mengikuti Guru dari Nazareth itu kok ya bisa menggambarkan situasi hidup orang zaman now juga: cari selamat sendiri, memanfaatkan aji mumpung, membidik posisi lemah orang lain untuk mengeruk keuntungan diri. Tidak mengherankan, orang seperti ini punya lingkaran pertemanan yang terbatas dan publik pada umumnya, terutama yang dalam posisi tertekan, membenci sosok seperti ini.

Guru dari Nazareth tidak masuk dalam lingkaran kebencian yang langgeng itu, tetapi memutuskan rantainya dengan mengundang Lewi untuk mengikutinya. Panggilan itu sendiri sudah secara implisit mengatakan bahwa menurut Guru dari Nazareth, Lewi bisa keluar dari lingkaran kebencian itu juga, dia bisa lepas dari jenis pekerjaan oportunis yang mengabdi kepentingan kaum individualis.
Loh, pegawai pajak justru memikirkan kepentingan kolektif dong, Rom, karena pajak itu kan untuk kepentingan kolektif.😂
Teorinya, seharusnya, idealnya begitu. Akan tetapi, kalau publik menganggap pekerjaan Lewi itu menajiskan, itu artinya pungutan pajaknya tak berimbas pada pengelolaan kesejahteraan umum.

Apakah kesejahteraan umum itu soal kemakmuran ekonomis masyarakat? Iya, tetapi tak terbatas olehnya, karena bisa jadi kesejahteraan ekonomis itu bergantung pada tingkat pendidikan, pada cara berpikir, pada konsepsi diri, tetapi juga konsepsi Allah dan agama. Anda bisa mengerti dong kalau perempuan tak kenal martabatnya sendiri sebagai pribadi dan hanya tunduk pada uang untuk bersolek sangat rentan terhadap hidung belang berkedok agama. Dibeli sekian juta untuk sekian minggu lalu dioper lagi ke hidung belang lainnya selama kurun waktu tertentu. Sama-sama untung sepertinya, padahal jelas berbeda jauh karena keuntungan yang satu tergantung sepenuhnya pada uang yang dimiliki satu pihak saja, dan pihak ini seakan punya privilese karena sentimen agama.

Pendidikan yang korup itu bahkan sudah dimulai sejak dini. Tidak sekali dua kali saya mendengar cerita seorang guru yang ditanyai murid kecil mengenai background agamanya.
Loh, kan malah bagus, Rom, supaya anak itu mengenal agama lain.
Idealnya begitu, tetapi bahkan secara teoretis, seorang anak SD belum punya orientasi pengenalan agama lain, lha wong sedang membangun identitas agama sendiri, gimana mau mengenal identitas agama lain?
Saya tak mau berlama-lama di sini. Tadi malam dibagikan pengalaman field trip kelompok anak SD di suatu provinsi di Indonesia Barat di suatu peternakan sapi. Salah satu pertanyaan yang meluncur dari anak SD itu adalah “Yang mengurus sapi ini agamanya apa?”
Menurut saya, ada yang salah dengan sistem pendidikan anak SD itu!

Betullah Guru dari Nazareth itu memanggil Lewi, sosok yang rupanya butuh bantuan untuk mengenali dirinya sendiri dan pada gilirannya mengenal Allah. Ini bukan sosok yang hanya ada di ranah perpajakan, melainkan juga di segala ranah yang sudah sedemikian teracuni paham agama yang sangat sektarian, yang betul-betul membahayakan NKRI karena tak kenal peribahasa di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk mengenali panggilan-Mu dalam konteks hidup bersama kami. Amin.


PESTA S. MATIUS (PENGINJIL)
(Sabtu Biasa XXIV C/1)
21 September 2019

Ef 4,1-7.11-13
Mat 9,9-13

Posting 2018: Muda-Mudi Zaman Now
Posting 2017: dr. Gusti Allah, Sp.AS
Posting 2016: Teologi Angkat Pantat

Posting 2015: Pendosa tapi Dipanggil