Bapak Siapa?

Kalau dipikir-pikir, teks bacaan hari ini menyakitkan [loh dipikir kok menyakitkan toh?]. Unsur distingtif dalam doa yang disodorkan Guru dari Nazareth adalah sebutan “Bapa” dan secara teoretis jelaslah problematika kata “Bapa” ini: apakah memang ia layak dilekatkan pada sosok laki-laki saja. Orang cenderung mengidentikkan kata itu dengan sosok ayah, tetapi justru itulah yang menurut saya tadi bisa menyakitkan, khususnya mereka yang hidup dalam kondisi broken homeOrang tua saya tidak broken, cuma broke bin boke’ barangkali, tetapi saya sangat dekat dengan kondisi broken home sehingga saya bisa mengerti sampai ulu hati kompleksitas persoalan broken home. KDRT, perceraian sendiri adalah satu persoalan, tetapi dampaknya menjadi gulungan persoalan yang bisa jadi lebih berat, apalagi kalau melibatkan anak di bawah umur.

Akan sangat menyedihkan jika doa “Bapa kami” itu mengidentikkan Allah sebagai sosok bapak. Menyedihkannya bukan karena bagi anak broken home sosok Allah itu absen manakala bapaknya memang ditelan entah tongkol atau kakap, melainkan karena maksud ajaran doa itu justru takkan pernah tercapai. Kenapa? Karena sosok bapak terus dicari di “luar sana”.

Andaikanlah bahwa sebutan “Bapa” sebenarnya merujuk pada sikap kekeluargaan dengan Allah. Ini bukan soal gender karena Allah tentu bukan laki-laki atau perempuan, mungkin kedua-duanya, bergantung pada conditioning mana yang hendak dipakai. Ini adalah soal familiaritas cum Deo alias keakraban dengan Allah. Akan tetapi, adakah orang yang akrab dengan liyan sementara ia tak akrab dengan dirinya sendiri? Mungkinkah orang menjalin intimate relationship dengan orang lain tetapi tak punya relasi intim dengan dirinya sendiri?

Mungkin saja, tetapi intimitas atau keakrabannya semu bin simulacrum dan superfisial bin ilusif. Orang seperti ini membangun idol atau berhalanya sendiri, dan dengan demikian, bahkan Allah pun hanya menjadi berhala yang ada di kepalanya. Kenyataan familiaritas cum Deo tadi tiada. Ia bisa tekun beribadat, bisa kerap berseru-seru kepada Liyan, tetapi semua terjadi di kepala, dan tak pernah masuk di kedalaman dirinya, tak memengaruhi indranya, tak menyegarkan batinnya. Ia bisa begitu aktif berorganisasi, dari yang profan sampai sakral, tetapi tak satu pun aktivitas itu mengantarnya pada pengenalan dirinya: who I am, where I am going, why I am doing dan seterusnya. Jawabannya tinggal di kepala.

Kisah Yunus yang merasa berhak marah atas matinya pohon jarak pelindung kepalanya dari sengatan terik matahari menjadi contoh pribadi yang rupanya kenal Allah tetapi tak kenal identitas dirinya sendiri. Dia tahu bahwa Allah itu maha pengasih dan penyayang, tetapi lupa bahwa sifat Allah itu sekaligus menuntutnya untuk memanifestasikan kasih sayang-Nya, bukan malah ngotot dengan agenda dan hasratnya sendiri.
Lah, bukannya itu indikasi kenal diri?
Iya, diri yang tercerabut dari keilahian.

Orang Niniwe malah lebih kenal diri daripada Yunus. Mereka bertobat, mau mengubah diri. Keakraban dengan Allah tidak dijamin oleh rumusan doa “Bapa kami”, tetapi oleh keterlibatan orang untuk mewujudkan pengampunan dan “rezeki bersama”. 

Ya Allah, mohon rahmat keberanian untuk keluar dari diri sendiri dan bertobat untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Amin.


RABU BIASA XXVII C/1
9 Oktober 2019

Yun 4,1-11
Luk 11,1-4

Rabu Biasa XXVII B/2 2018: Hoaks sampai Kiamat
Rabu Biasa XXVII A/1 2017: Dasar Orang Bodoh
Rabu Biasa XXVII C/2 2016: Doa Nafas

Rabu Biasa XXVII A/2 2014: Don’t Forget the Poor