Wajah Tak Bertopeng

Dalam posting kemarin, insight yang saya garisbawahi ialah bahwa compassion itu memerlukan “perjumpaan wajah” penderitaan. Maksudnya, penderitaan itu berwajah, bukan cuma kata benda abstrak universal. Pemuka agama dan orang Lewi dalam perumpamaan itu rupanya tidak mengalami “perjumpaan wajah” dengan orang yang babak belur dianiaya [dan mungkin diancam akan dibunuh dan mayatnya bakal dikeluarkan pake’ ambulans #eh…. Ambulans ini kok populer ya dalam kekisruhan?]. Atau, bisa jugakah dikatakan bahwa “perjumpaan wajah” dengan mereka yang menderita itu memunculkan dua tanggapan? Yang satu mlipir menjauh, dan yang lainnya pergi mendekat?

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa tidak setiap “perjumpaan wajah” penderitaan memantik compassion. Lagipula, kalau compassion itu otomatis muncul ketika orang melihat wajah penderitaan, bagaimana mungkin orang sampai hati memukuli orang lainnya sampai babak belur dan bahkan menyerukan teror untuk membunuhnya? Lebih masuk akal gambaran seorang ayah yang menampar anaknya dan melihat kesakitan anaknya kemudian memeluknya minta maaf, bukan? Begitulah compassion, tidak menambah penderitaan, tetapi meringankannya. Lebih klop label compassion itu diletakkan pada koruptor kelas tenggiri (korupsi pempek kale’) yang melihat dampak korupsinya pada sosok rakyat jelata lalu bertobat dan memiskinkan dirinya. Ya itu ngimpi keleus, Mo!😂😂😂

Akan tetapi, bahkan meskipun “perjumpaan wajah” penderitaan tidak otomatis membangun compassion, belas kasih itu sendiri tak mungkin muncul tanpa “perjumpaan wajah” penderitaan. Tidak ada ceritanya compassion ujug-ujug muncul sementara Anda tidak punya rasa kepo terhadap liyan. Tapi asudahlah tak usah bertele-tele di sini. Saya cuma mau bilang bahwa kalau kemarin insightnya “perjumpaan wajah” penderitaan diperlukan sebagai pemantik compassion, hari ini wacananya dilanjutkan dengan pendalaman “perjumpaan wajah” penderitaan itu.

Cerita teksnya sangat sederhana. Guru dari Nazareth mampir ke sebuah kampung dan diterima Marta dan Maria. Marta sibuk di dapur, sementara Maria enjoy mendengarkan Guru. Akan tetapi, tentu saja Maria dan Marta ini bukan dua orang yang bertengkar memperebutkan Guru. Ini dua model menerima tamu. Tamu, orang asing, dalam bahasa biblis menunjukkan posisi lemah tetapi sekaligus sakral sehingga tuan rumah mesti memperlakukannya sebaik-baiknya. Bagaimana Marta dan Maria menyambut tamunya itu mencirikan dua pendekatan yang tak perlu dipertentangkan. Soalnya, kalau dipertentangkan, nanti jatuhnya ke penghakiman bahwa pendekatan yang satu lebih penting daripada yang lainnya. Kenyataannya, mereka itu dua bersaudara, dan ini mengingatkan pembaca bahwa mereka punya kesatuan sekaligus perbedaan dalam menghadapi kesatuan itu.

Beberapa hari yang lalu beredar klip video singkat mbak-mbak berjilbab menggendong tas berisi salib demi kelangsungan prosesi estafetnya. Tentu sejenak itu menimbulkan rasa awkward, terutama bagi kelompok orang yang belum bisa beranjak dari benih fanatisme beragama. Sewaktu saya menontonnya, saya tak mengerti itu video apa, tetapi setelah membaca keterangannya, saya bisa mengerti. Syukur kalau prosesi itu berterima, tetapi itu sebetulnya baru level permukaan untuk mengenali perbedaan. Bagaimana orang saling belajar dari perbedaan itu sampai level terdalamnya? Bagaimana orang bisa tiba pada perjumpaan wajah tak bertopeng?

Tuhan, ajarilah kami kebijaksanaan untuk mengenali sabda-Mu dalam diri sesama. Amin.


HARI SELASA BIASA XXVII A/1
10 Oktober 2017

Yun 3,1-10
Luk 10,38-42

Selasa Biasa XXVII B/2 2018: Romantika Beragama
Selasa Biasa XXVII A/1 2017: Kitab Tempe
Selasa Biasa XXVII C/2 2016: Capek Mencinta?

Selasa Biasa XXVII B/1 2015: Tertipu Agama
Selasa Biasa XXVII A/2 2014: Cinta Mengurai Benang Kusut