Join Kenapa

The totality of what you are, the fullness of what you know, if put into play, can feed humanity. Barangkali ungkapan itu cocok untuk memahami teks bacaan hari ini yang mengisahkan bagaimana Guru dari Nazareth menyediakan makanan bagi sekian banyak orang. Saya tidak mengerti bagaimana itu terjadi, tetapi insightnya cukup jelas untuk saya: Guru dari Nazareth mengakomodasi apa saja yang ada di sekelilingnya supaya jadi berkat bagi semua. Tiada rotan, akar pun jadi. Dengan begitu, Guru dari Nazareth tidak berpretensi bahwa ia bisa begitu saja menyediakan makanan tanpa partisipasi orang-orang di sekelilingnya.

Ini bisa jadi bahan refleksi bagi mereka, orang beragama, yang berpretensi bisa menangani, melakukan, menyelesaikan sendiri proyek keselamatan Allah dalam hidupnya, tanpa kerja sama dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya.
Itu juga sekaligus jadi bahan refleksi untuk agama-agama yang eksis di dunia ini yang berpretensi sebagai agen perubahan dengan motif dasar bahwa agamanya adalah sarana rahmat Allah bagi semesta. Ini juga yang belakangan saya gumuli: bagaimana mungkin agama bisa mengklaim diri sebagai saluran berkat sementara bekerja sendiri-sendiri? Mungkinkah Islam mewujudkan ukhuwwah Islamiyyah tanpa berkolaborasi dengan mereka yang hendak mewujudkan Kerajaan Allah di dunia ini? Jawabannya jelas sih, tidak mungkin, tetapi pada kenyataannya kerja sama itu belum menjadi suasana umum juga di negeri berazaskan Pancasila ini.

Pada awal tahun ini dua pemimpin agama bersepakat menjalin kerja sama untuk mewujudkan persaudaraan insani yang memungkinkan terwujudnya perdamaian dan keadilan sosial. Tapi ya begitulah, struktur agama tidak mirip dengan hirarki militer. Bahkan, agama Katolik yang secara keliru dianggap terlalu hirarkis itu juga sebetulnya tidak bekerja dengan kaidah-kaidah militeristik. Andai saja begitu, tentu sudah sejak lama skandal yang melibatkan pemuka-pemuka agamanya dibereskan begitu selesai Konsili Vatikan II tahun 1960-an. Andai saja begitu, tentu tak akan muncul kelompok-kelompok manasuka yang menebar gosip dan bahkan menghakimi paus yang ini titisan iblis dan paus yang itu adalah paus yang asli. Artinya, karena tak ada struktur hirarki ala militer itu, dalam agama mesti ada variasi yang bermacam-macam sehingga meskipun pemimpin agamanya menyerukan anu, yang dipimpin bisa saja melakukan anu yang lainnya.

Kalau begitu, ujung-ujungnya, masing-masing umat berimanlah yang mengambil peran. Para pemimpinnya cuma menyediakan reminder. Masing-masing orang mesti mengerti bahwa dalam dirinya ada ‘tujuh roti dan beberapa ikan’ yang memungkinkan hidup ini menjadi pesta bagi semua saja tanpa sekat agama. The totality of what you are, the fullness of what you know, if put into play, can feed humanity. Dalam hidup umat beriman, tak ada ungkapan membuang garam ke laut, karena ia tidak berpretensi mengasinkan laut, tetapi menceburkan dirinya dalam samudra hidup yang tak lagi berhitung-hitung seberapa besar dirinya dalam samudra. Ia sudah jadi samudra.

Tuhan, mohon rahmat keberanian untuk menunjukkan wajah kemanusiaan-Mu dalam pergumulan hidup kami. Amin.


RABU ADVEN I
4 Desember 2019

Yes 25,6-10a
Mat 15,29-37

Posting 2018: Jangan Busuk di Penjara
Posting 2017: DIY God

Posting 2015: Auto Recovery

2 replies

  1. Wow, one of the best writings from U, suka banget dan pas dg kondisi yg sdh bbrp kali di alami sehari2 (termasuk barusan kemarin siang). Dan juga sejalan dng khotbah misa semalam dr Mosus. Mau berbuat baik melakukan sesuatu for humanity (baca: people around us) needs not too much justifications as it will otherwise ruin & halt the good intent into no action at all. As u said, just ‘put it into play’ cakep banget 👍 Have a blissful & happy day Mo Andre.

    Like