Gembira Kenapa

Orang beriman tidak mewartakan dirinya sendiri, tetapi Allah yang diimaninya. Begitu kata Paus Fransiskus lima tahun lalu. Dari pihak pewartanya, dituntut ketulusan hati. Dari pihak penerimanya, diperlukan kemampuan untuk reading between the lines

Bagi kebanyakan orang, kelahiran buah hati adalah hal yang sangat menggirangkan hati, hal yang dinanti-nanti. Hanya sedikit saja yang dirundung duka karena kelahiran makhluk baru. Maka dari itu, kegembiraan yang muncul karena kelahiran bayi adalah perasaan manusiawi yang lumrah, yang bisa dirasakan oleh semua orang. Begitu juga halnya dialami oleh tetangga-tetangga Zakharia dan Elisabet ketika mereka mendapati Elisabet sudah bersalin. Mereka begitu bergembira.

Menariknya, teks bacaan hari ini tidak mengatakan bahwa mereka bergembira karena kelahiran anak Zakharia dan Elisabet. Ini tidak hendak menyangkal bahwa orang sewajarnya bergembira karena peristiwa lumrah itu. Akan tetapi, teksnya mengatakan begini: ketika tetangga-tetangganya serta saudara-saudaranya mendengar bahwa Tuhan telah menunjukkan rahmat-Nya yang begitu besar kepadanya, bersukacitalah mereka bersama-sama dengan dia.

Artinya, mereka memandang peristiwa kelahiran anak Zakharia dan Elisabet itu bukan sekadar siklus biologis kehidupan manusia, melainkan momen Allah menunjukkan rahmat-Nya yang begitu besar. Nota bene: pasangan yang tak punya keturunan pada zaman jebot itu ditangkap sebagai wujud bahwa Allah tidak memberi rida. Banyak anak, banyak berkat. Tak beranak, tak ada berkat. Alhasil, bahwa Zakharia dan Elisabet yang sampai masa uzurnya tak beranak itu juga dipandang sebagai pasangan yang tak mendapat berkat Allah sendiri. Logisnya, kelahiran anak dari wanita mandul menjungkirbalikkan asumsi mereka dan itu berarti luar biasa sekali berkat-Nya.

Tentu Anda tidak harus jadi-mandul-dan-uzur-tapi-bisa-melahirkan-anak dulu untuk mengalami berkat luar biasa Allah itu. Zakharia-Elisabet tidak harus berbuat apa pun selain menerima saja apa yang diberikan Allah kepada mereka. Hidup mereka ini terlihat oleh orang beriman yang menangkap peristiwa alamiah dengan kemampuan reading between the lines. Zakharia-Elisabet tidak berkata macam-macam untuk mewartakan Allah. Hidup merekalah pewartaannya. Zakharia-Elisabet tidak berkoar-koar dengan khotbah atau ceramah atau siraman rohani via televisi atau radio. Kesaksian hidup merekalah yang jadi siarannya.

Orang beriman yang menantikan keselamatan, membiarkan hidupnya terbaca sebagai berkat Allah. Itu tak mungkin terjadi jika orang tidak secara tulus menekuni apa yang diinginkan Allah dari hidup mereka. Itu tak mungkin terjadi kalau orang berfokus pada dirinya sendiri, kebiasaan, tradisinya sendiri. Tak ada dari trah Zakharia yang punya nama lain, tetapi Zakharia berpegang pada yang didengarnya sendiri dari malaikat Allah.

Demikianlah, kalau orang beriman sungguh ingin hidupnya berkelimpahan berkat-Nya, dari pihaknya ‘cuma’ dituntut ketulusan hati untuk berpegang pada titah Allah sendiri. Tak ada ceritanya orang yang tulus hidupnya cemberut penuh sungut. Ini adalah orang-orang yang penuh syukur dengan tindakan terukur: menaruh harapan semata kepada Allah.

Tuhan, mohon rahmat supaya hidup kami boleh menggambarkan berkat-Mu bagi semakin banyak orang. Amin.


HARI KHUSUS ADVEN
23 Desember 2019, Senin

Mal 3,1-4;5,5-6
Luk 1,57-66

Posting 2017: What’s Your Name?
Posting 2016: Belum Telolet Juga

Posting 2015: Game Over

Posting 2014: Apa Nama Sebuah Arti?