Allah Pahit Manis

Memang penderitaan bisa jadi senjata godaan kepercayaan akan eksistensi Allah. Maksudnya, orang jadi lebih sulit omong mengenai Allah jika hidupnya tersandera penderitaan. Masuk akal juga: bagaimana mau omong mengenai Allah yang baik kalau orang hidup susah, keras, sakit? Bagaimana mau diomongi soal Allah murah hati kalau hidup orang penuh penderitaan? Agama berpretensi jadi pembela Allah, memberi rasionalisasi mengenai korelasi kebaikan Allah dengan penderitaan makhluk-Nya. Blog ini tak berpretensi melakukan pembelaan, tetapi belajar dari teks bacaan.

Jika minggu yang lalu disodorkan bacaan mengenai godaan iblis, minggu ini disodorkan bacaan yang juga masih ada sisa-sisa manifestasi godaan, yaitu ketika para murid Guru dari Nazareth melihat peristiwa spektakuler berinisiatif mendirikan tenda sebagai tempat tinggal Guru mereka, Nabi Musa dan Nabi Elia. Ini memang godaan: orang cenderung berupaya mematenkan apa saja yang membuat mereka nyaman. Pemikiran orang pinter bisa jadi dipatenkan, seakan-akan hasil kepintaran itu identik dengan kebenaran. Begitu terjadi pematènan dan dianggap sebagai kebenaran mutlak atau yang paling benar atau satu-satunya yang benar, justru di situlah kepintaran menampakkan kebodohannya.

Nabi Musa identik dengan momen ketika ia mendaki Gunung Sinai/Horeb dan ia menjumpai kemuliaan Allah sebagai api yang menghanguskan (Kel 24,17). Musa pertama kali berjumpa dengan Allah yang tampak dalam semak terbakar. Penampakan ini tak dialami Nabi Elia. Ia memang mengalami perjumpaan dengan Allah di gunung, tetapi justru dalam angin sepoi-sepoi, bukan dalam api, gempa bumi, angin keras. Dengan demikian, pengalaman dua nabi ini menggambarkan model-model mediasi perjumpaan dengan Allah: lewat badai, petir, kilat, api yang menghanguskan, dan lewat angin yang semilir.

Artinya, orang bisa berjumpa dengan Allah dalam peristiwa dramatis, tragis, pahit, menakutkan, menyakitkan, tetapi bisa juga berjumpa dengan-Nya lewat pengalaman manis, menggembirakan. Narasi hari ini mengingatkan pembaca pada kenyataan bahwa dua model perjumpaan dengan Allah itu terjadi di gunung. Godaan minggu lalu juga terjadi di gunung. Itu berarti, peristiwa spektakuler dan momen godaan bisa muncul di tempat yang sama. Akan tetapi, menjadi jelas bahwa mereka tak dapat terus menerus tinggal di gunung. Musa, Elia, dan Guru dari Nazareth mesti turun gunung: tak bisa enak-enak berkubang dalam perjumpaan di gunung, mesti melewati lembah untuk tiba di lokasi di balik Bukit Golgota. Ini saya jelaskan pada posting Higher, Better Vision.

Orang beriman sewajarnya dapat mengalami perjumpaan dengan Allah baik dalam peristiwa pahit maupun peristiwa manis. Menyangkal eksistensi Allah karena pengalaman pahit dan fanatik soal eksistensi Allah karena pengalaman manis justru menunjukkan ketimpangan orang beragama. Narasi hari ini menegaskan bahwa pengalaman termanis baru terjadi kalau orang tidak melompati atau mengabaikan pengalaman pahit. Ia perlu mengolah pengalaman pahit itu sedemikian rupa sehingga hidupnya bertransformasi menjadi manis.

Tuhan, mohon rahmat keberanian untuk menerima kepahitan hidup sebagai bagian untuk meniti kemanisan cinta-Mu. Amin.


Minggu Prapaska II A/2
8 Maret 2020

Kej 12,1-4a
2Tim 1:8b-10
Mat 17,1-9

Posting Tahun A/1 2017: Anak Babi?
Posting Tahun A/2 2014: Apa Itu Panggilan Suci?
*