Berat Hati

Sepulang dari danau dan basah kuyup, Tiwul masih mengungkit-ungkit kesialannya dan kembali menyalahkan Tiwal yang membuatnya kecebur danau dua kali. Meskipun begitu, Tiwul tetap berterima kasih karena Tiwal mau membawakan pakaian basahnya dalam ransel. Tiwul rupanya menitipkan pakaian-pakaiannya di ransel Tiwal yang sudah penuh sesak dengan pakaian mereka berdua. Pakaian basah tentu menambah beban jadi lebih berat.
“Oh, enggak kok, pakaian basahmu gak nambah berat sama sekali.”
“Ya gak mungkinlah, namanya baju dan celana basah ya tetaplah lebih berat daripada waktu baju celana itu kering. Namanya juga ketambahan air, massa bendanya bertambah gitu kok.”
“Ya bergantung pada bagaimana cara membawanya.”
Gak peduli cara bawanya. Pakaian sewaktu basah lebih berat daripada pakaian sewaktu kering.”
“Nah itulah, jadi beban berat kalau ditaruh di tas yang kucantolkan di pundak ini.”
“Lha trus jadi ringan kalau diseret gitu po
“Bukan, tak usah diseret, bawa saja dalam hati.”
Tiwul terperanjat. “Maksud loe?”
Rupanya Tiwal mengeluarkan pakaian basah Tiwul dan meninggalkannya di toilet danau.

Sudah pernah saya sitir ungkapan Hélder Câmara pada posting Masukin Ati Aja: Orang-orang itu jadi beban buatmu? Jangan letakkan di pundak, bawalah dalam hatimu. 
Untuk meletakkan orang-orang di pundak tentu saja dibutuhkan pundak yang kuat, tetapi kekuatannya terukur dengan satuan massa. Akan tetapi, juga kalau dimengerti secara simbolik, meletakkan beban di pundak kiranya memberi beban pada wilayah kepala: rasionalitas. Di bawah pundak, beban dikelola dengan hati.

Bagi sebagian (besar) orang, mengasihi musuh dan mendoakan orang yang melukai mereka adalah tindakan yang bukan cuma konyol, melainkan juga nonsense. Persis di situlah letak persoalannya: menempatkan “cinta kepada musuh” atau “mendoakan musuh” pada ranah kepala. Akibatnya, kalkulasi rasional dikedepankan dan hati tak mengambil peran. Tolok ukurnya jadi untung rugi, keadilan manusiawi belaka. Ini betul-betul konyol dan nonsense karena kalkulasi rasional tak mengasumsikan atau memperhitungkan cinta dan pengampunan. Asal orang bisa mengerjakan soal matematika, ia tahu mana yang lebih banyak dan mana yang lebih sedikit, ia tahu mana yang surplus dan mana yang defisit.

Akan tetapi, ia bisa mencintai dan mengampuni guru matematika yang mencaci makinya di hadapan publik. Kemungkinan untuk itu tidak dilakukan dalam kalkulasi kepala, tetapi dalam jangkauan hati. Asumsinya, orang memang sudah mengolah hati sedemikian rupa supaya dapat menjangkau hal-hal yang tak dapat dikalkulasi dengan kepala. Barangkali, pengolahan hati seperti itu bisa menimbulkan dampak fisik yang menyakitkan: mual mules perih kembung [ada obatnya], tangisan menyayat hati, sakit perut, sakit kulit, sakit kepala, dan sebagainya. Barangkali hanya setelah melalui dampak fisik seperti itu, cinta dan pengampunan mendapatkan wujud paripurnanya. Barangkali saja. Ini untuk mengatakan bahwa cinta dan pengampunan kepada ‘lawan’ atau ‘musuh’ bukan perkara gampang dan ringan, tetapi juga bukan perkara nonsense. Cinta dan pengampunan yang berat itu, ironisnya, meringankan hati dan hidup orang, no matter what.

Ya Allah, mohon rahmat kekuatan untuk mencintai dan mengampuni dengan segenap hati dan budi sehingga kami menjadi manusia merdeka, berat hati jadi ringan. Amin.


HARI SABTU PRAPASKA I
7 Maret 2020

Ul 26,16-19
Mat 5,43-48

Posting 2019: Tuhan Nomor Satu
Posting 2018: Hatimu Terbuat dari Apa?

Posting 2017: Sudah Kuat?

Posting 2016: Bridge over Troubled Water
 
Posting
 2015: Logika Paradoksal

Posting 2014: Masih Mau Korupsi? Plis deh…