Kalau Anda mau bahagia sejenak, balas dendamlah. Kalau mau bahagianya lebih langgeng, ampunilah. Begitu kira-kira nasihat seorang pertapa, kali ini dari tradisi Dominikan, bernama Henri Lacordaire.
Teks bacaan hari ini kiranya bisa juga dimengerti dari perspektif nasihat rohani Lacordaire itu. Bukannya tiada orang yang secara agak naif menafsirkan bacaan hari ini dengan tidak pernah mengikuti perayaan keagamaan karena belum bisa mengampuni orang lain. Dalihnya ya teks hari ini yang memberi mandat supaya sebelum beribadat dia berdamai dulu dengan orang lain yang, misalnya, berkhianat. Jadi, daripada beribadat sebagai orang munafik, lebih baik berdamai dulu dengan orang lain itu, kan? Ya betul sih, tapi sayangnya, dalam level relasi antarmanusia, damainya senantiasa terukur dengan apa yang bisa ditangkap dengan indra: masih cemberut atau tidak, masih emosi atau tidak, masih marah atau tidak, dan seterusnya. Akibatnya, orang itu masuk dalam lingkaran syaiton dan ujungnya gatot bin gagal total: damai dengan sesama enggak, doa juga enggak. Mau jadi apa nanti kalau sudah besar?😅
Saya pernah berbagi cerita dalam posting Salam Damai Gombal untuk mengomentari teks hari ini. Saya tak perlu merasa diri munafik menyalami orang yang kepadanya saya jengkel karena salaman saya itu saya susupi harapan supaya damai dari Allah itu menaungi dia dan saya. Alhasil, meskipun saya menyalami seseorang yang saya jengkeli, itu tidak berarti saya oke-oke saja dengan sikap atau perilakunya yang menjengkelkan.
Tiwal dan Tiwul pergi hang out ke sebuah danau dan di tepian danau berpagar itu mereka bersantai ria sampai Tiwul punya ide nakal untuk menceburkan Tiwal ke danau. Mereka duduk di pagar, menghadap ke danau. Tiwul mendorong pundak Tiwal tetapi pada saat bersamaan Tiwal membungkuk hendak menggaruk kakinya yang digigit semut. Alhasil, Tiwul kehilangan keseimbangan dan tak sempat mencari pegangan lain dan terceburlah ia ke danau. Tiwal yang terheran-heran karena Tiwul kecebur danau cuma bisa melongo, tetapi ia mengulurkan tangannya untuk menarik Tiwul keluar dari air. “Salam damai dulu, sini!” Tiwul menggapai tangan Tiwal dan setelah berjabat tangan itu ia memaki-maki Tiwal. “Sontoloyo kok kamu itu, mau buat pegangan malah bikin aku kecebur!”
Melihat Tiwul memaki-makinya, pada saat Tiwul bertumpu untuk menarik tubuhnya ke atas, Tiwal melepaskan salam damainya, dan byur untuk kedua kalinya bagi Tiwul.
Tentu saja, salam damai Tiwal tak perlu dipertentangkan dengan kejengkelannya terhadap Tiwul yang sudah dibantu malah memaki-maki. Ini perkara sepele dalam pertemanan. Dalam hidup yang lebih keras, salam damai dipertentangkan dengan kemarahan, kejengkelan, kegusaran. Saya lalu ingat, Guru dari Nazareth pernah jengkel sekali terhadap muridnya sendiri. Tak hanya itu, ia bahkan memberi label kepada muridnya itu sebagai ‘iblis’. Apakah Guru dari Nazareth ini hatinya tak damai?
Saya tidak yakin begitu. Di kedalaman hatinya, saya kira ia sudah mengerti bahwa muridnya itu tak mengerti apa yang dia buat, dan Sang Guru memaafkannya, dan karena itu, ia mestilah damai.
Ya Tuhan, ajarilah kami untuk mengerti makna damai yang Kaucurahkan kepada kami. Amin.
HARI JUMAT PRAPASKA I
6 Maret 2020
Posting 2019: Penakluk Gunung?
Posting 2018: Buah Kejujuran
Posting 2017: Sidang Istimewa
Posting 2016: Tobat, Kembali ke Cinta
Posting 2015: Kebenaran Agama vs Iman
Posting 2014: Ruang Tobat dan Pengampunan
Categories: Daily Reflection