Mungkin Anda membaca kisah-kisah seru berkaitan dengan virus korona, terutama yang berkaitan dengan teori konspirasi China vs Amerika. Saya tidak punya kompetensi apa pun untuk menganalisis teori-teori itu, tetapi satu hal yang saya yakini: tidak ada kenyataan telanjang yang bebas dari penafsiran. Kenyataan dikonstruksi penafsirnya. Dalam kasus liturgi, misalnya, yang semula fungsional kemudian mendapat makna tambahan teologis. Demikian pula halnya dengan virus korona, entah apa atau siapa pun penciptanya, bisa dimanfaatkan demi tujuan apa pun, apalagi ketika dampaknya sudah mengglobal.
Dengan keyakinan itu pula saya membaca teks cerita bacaan hari ini: tidak sesederhana bahwa ada pelacur tertangkap basah dan terbebas dari rajam ala Hukum Taurat. Ini soal bagaimana orang menafsirkan kasus dan hukum yang berlaku. Itu mengapa ahli Taurat dan orang Farisi menggelandang perempuan yang tertangkap berzinah itu kepada Guru dari Nazareth: untuk menantang penafsirannya dan menemukan alasan untuk merajam Sang Guru. Kenapa begitu? Kalau memang perempuan itu pantas dirajam, tentu gak perlu banyak omong cing cong atau minta second opinion, rajam saja, kan? Kenapa mesti tanya pada Guru dari Nazareth segala, jal?
Saya kira memang teks ini juga tidak pertama-tama dimaksudkan sebagai laporan sejarah, teks menunjukkan bagaimana orang mesti menafsirkan kenyataan secara bertanggung jawab. Sudah jelas bahwa Guru dari Nazareth dikenal sebagai pembangkang Hukum Taurat, meskipun sebetulnya yang dilakukannya adalah reinterpretasi Hukum Taurat sedemikian rupa sehingga hukum dan kemanusiaan mendapatkan martabat sejati. Dengan mengacu pada Khotbah di Bukit (Mat 5,31-32), dapat dipahami bagaimana Guru dari Nazareth memperdalam Hukum Taurat dan pendalamannya ini rupanya tidak disukai pemuka agama.
Para pemuka agama mengerti benar bahwa ada tiga kejahatan yang pantas mendapat hukuman mati: penyembahan berhala, zinah, dan pertumpahan darah. Akan tetapi, dalam Khotbah di Bukit rupanya Guru dari Nazareth itu menunjuk persoalan yang luput dari perhatian laki-laki: kalau zinah itu dosa, mengapa perceraian tidak? Bukankah laki-laki bisa saja menceraikan istrinya yang sah demi kawin dengan perempuan lain? Mengapa perceraian itu tidak dikategorikan sebagai perzinahan, yang sepadan dengan penyembahan berhala juga? Pemuka agama itu tahu benar bahwa zinah dilarang tapi perceraian tidak; dan itu ‘menguntungkan’ laki-laki, jadi kawin cerai saja semaunya, bisa diatur hukumnya (misalnya bikin surat cerai).
Kalau begitu, bisa jadi perempuan yang digelandang kepada Guru dari Nazareth itu bukanlah pezinah dalam arti perempuan yang berselingkuh, melainkan perempuan yang diceraikan oleh suaminya. Seharusnya, kalau perempuan ini memang berzinah, pasangan zinahnya ikut digelandang dong. Lha ini kok yang disodorkan cuma perempuannya, ke mana lakinya?
Artinya, Guru dari Nazareth itu seakan mengatakan kepada para penggelandang,”Kamu bilang perempuan yang diceraikan suaminya ini pantas dihukum rajam? Mengapa tidak sekalian suami yang menceraikannya?”
Anyway, poinnya bukan norma hukumnya, melainkan pesannya bahwa orang tak dapat mencabut nyawa orang lain, apalagi dengan interpretasi serampangan. Bagi Guru dari Nazareth, dosa bukan kata terakhir, dan setiap orang mesti mengambil peran bagi konstruksi kenyataan yang lebih bermartabat. “Pergi, dan jangan berbuat dosa lagi sampai besok.”
Ya Allah, mohon rahmat pengertian akan tanggung jawab sosial kami. Amin.
HARI SENIN PRAPASKA V
30 Maret 2020
Dan 13,1-9.15-17.19-30.33-62
Yoh 8,1-11
Posting 2019: Yang Gak Kenal 1998
Posting 2017: Lebih Baik Absen
Posting 2016: Jadilah Anak-anak Terang
Posting 2015: Dasar Koruptor!
Posting 2014: Kemurahhatian Menuntut Pertobatan
Categories: Daily Reflection