Live in Peace

Bagaimanapun, kematian sebagai takdir manusia tetaplah misteri. Bahkan, meskipun baru bisa dibicarakan post factum, pembicaraan itu tak memecahkan misteri. Seseorang yang berusaha menyelamatkan diri dari gempa dengan berlari keluar dari rumah bisa jadi mati karena terhimpit dinding di luar rumah. Baru saya baca, seseorang yang berusaha menghindari Covid-19 dengan berlibur ke pulau terpencil malah meninggal di pulau itu karena Covid-19 yang dideritanya. Saya juga pernah dengar bagaimana milyarder yang hidup dengan tingkat hygiene yang super demi menghindari sakit lantaran bakteri dan virus akhirnya mati karena kecelakaan mobil. Seandainya orang tahu berdiam di rumah malah luput dari kematian akibat gempa, seandainya orang tahu sebelumnya bahwa pergi ke pulau terpencil malah membuatnya terpapar Covid-19, seandainya milyarder itu tahu bahwa akan terjadi kecelakaan mobil…

Seandainya kematian itu bukan lagi misteri dan orang tahu persis kapan dan di mana ia akan mati, barangkali ia cenderung menghindarinya. Itu mengapa bangsa manusia pada umumnya berusaha melakukan physical distancing dari malaikat pencabut nyawa atau Dewa Yamadipati, entah dengan obat atau teknik olah raga tertentu.
Akan tetapi, sosok Guru dari Nazareth membuat pengecualian. Ia menyongsong akhir tragis hidupnya. Di sini memang ada perbedaan teologis antara perspektif Kristiani dan Islam, tetapi keduanya sama-sama menempatkan kematian di bawah kehidupan bersama Allah. Kematian manusia adalah takdir tak terelakkan, bagaimanapun caranya, tetapi itu hanyalah tahap peralihan pada jenis kehidupan lain.

Pengecualian tidak hanya dilakukan Guru dari Nazareth, tetapi juga mereka yang memahami takdir kematian sebagai misteri yang hanya bisa diterima. Eyang buyut saya yang kějawèn di penghujung hidupnya tampak sungguh tenang dan happy dalam ketidakberdayaan fisiknya. Tidak rewel atau banyak cakap. Tak terpancar aura ketakutan. Tentu, orang tidak harus menunggu sampai jadi eyang buyut untuk menerima misteri kematian dalam ketenangan dan kebahagiaan.

Anda bisa saja mengisolasi diri di pulau terpencil yang Anda beli, tetapi sebaiknya bukan karena takut mati. Begitu juga kalau hidup Anda berubah jadi lebih higienis, sebaiknya bukan karena takut Covid-19. Berkendara secara aman pun sebaiknya tidak dilandasi ketakutan akan kematian. Lha kenapa toh Rom takut mati dipersoalkan?
Saya mengingat azas dan dasar hidup orang beriman yang mengenyahkan ketakutan. Kalau mau jadi kaya ya kaya aja, tapi tak usah memelihara keyakinan bahwa tanpa kekayaan Anda tak bisa hidup. Mau sehat ya baiklah, tetapi keliru motifnya kalau dilandasi ketakutan akan penyakit, seakan-akan orang tidak bisa hidup dalam kesakitan.

Pengetahuan manusia tak dapat memecahkan misteri kematian, tetapi pengetahuan itu tetap berguna supaya pun kalau ia mati, ia tidak mati dalam kedosaan, dalam egoisme untuk mencari keselamatan diri sendiri. Pengetahuan ini penting supaya orang beriman tidak naif: mati hidup di tangan Tuhan, jadi tak usahlah hidup higienis. Pengetahuan ini juga penting supaya orang beriman tidak lebay: orang harus hidup sehat karena takut mati. Keseimbangan antara keduanya, sayangnya, bukan perkara gampang, dan memang itulah ranah hidup orang beriman.

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk menemukan makna setiap pengalaman hidup kami dalam terang cinta-Mu. Amin.


HARI SELASA PRAPASKA V
31 Maret 2020

Bil 21,4-9
Yoh 8,21-30

Posting 2019: Jagoan Siap Kalah
Posting 2018: Proxy War

Posting 2017: Situ Waras?

Posting 2016: Nonton Salib
Posting 2015: Smart Life, Dumb People

Posting 2014: Tak Tahu Diuntung, Tak Bersyukur