Merdeka

Kemarin saya terima catatan kritis bahwa istilah ‘dosa’, selain menguak sifat pengampun Allah, bisa menjerumuskan orang ke dalam lingkaran ketakutan. Lingkaran ketakutan ini sendiri sebetulnya tercakup dalam istilah teknis ‘dosa’ juga. Alhasil, seperti disodorkan teks bacaan hari ini, orang bisa jatuh sebagai ‘hamba dosa’. Takut dosa, malah jadi ‘hamba dosa’. Catatan kritis tadi penting diperhatikan supaya orang beriman bisa move on dalam rengkuhan kebaikan Allah.

Akan tetapi, saya memang belum menemukan alternatif istilah dosa, yang mengakomodasi penggambaran kerusakan relasi horisontal (kemakhlukan) dan vertikal (keilahian). Yang bikin runyam bukan per se istilah teknisnya itu sendiri, melainkan penggunaannya. Silakan tilik bagaimana orang mengajarkan agama dengan teror dosa (bdk. ‘surga-neraka’). “Jangan gitu, Nak, dosa!” “Tidak boleh begitu, nanti dosa!” Orang dewasa tak berhasil menjelaskan mengapa si anak tidak boleh mencuri; tak punya waktu untuk memberi pemahaman mengapa berbohong itu keliru. Cara paling gampang ya dengan menghadirkan sosok Allah sebagai hakim agung dengan kategori ‘dosa’ tadi.

Ada upaya untuk menafsir ulang istilah ‘dosa’, tetapi tak menghasilkan istilah sepadat ‘dosa’. Dalam dunia Kristiani, misalnya, bisa disodorkan istilah the “broken” constitution of the human being. Akan tetapi, bukankah itu baru merujuk pada kerapuhan manusia? Runyamnya, kalau istilah teknis ini disingkirkan dan orang hanya mengandalkan kebaikan Allah, pada kenyataannya manusia berhadapan dengan kerapuhan yang membuatnya tak bisa move on juga. Fenomena di seputar Covid-19 menunjukkan bahwa sekularisme, modernisme tidak mampu dari dirinya sendiri mentransformasi hidup. Posmodernisme dengan post truthnya tak menentramkan dunia.

Teks bacaan hari ini menegaskan bahwa kebenaranlah yang memerdekakan orang dan rupanya hanya orang merdeka yang dapat move on. Alhasil, orang perlu bersama mencari kebenaran itu, bukan dengan keukeuh pada perspektif sendiri, melainkan dengan membangun learning society di segala matra.
Beberapa waktu lalu saya bagikan tulisan seseorang mengenai herd immunity dan tanggapannya luar biasa. Saya sendiri melihatnya secara positif, bukan per se sebagai metode atau langkah konkret untuk melawan virus korona (yang seakan-akan malah bisa dianggap sebagai genosida jenis baru), melainkan sebagai salah satu asumsi atau acuan untuk menata segala aspek kehidupan bersama. 
Kembali ke istilah ‘dosa’ tadi, tak perlu dijadikan titik tolak atau pijakan atau tujuan pada dirinya, tetapi pokoknya orang terbuka pada kebenaran yang disodorkannya.

Di tengah aneka berita yang bersliweran mengenai lockdown untuk memerangi virus korona, Anda temukan foto seorang ibu yang berjalan kaki selama lebih kurang empat jam menarik kopernya dari perbatasan Malaysia ke Singapura. Di hadapan kenyataan seperti ini, orang bisa berkaca dan bertanya bagaimana manusia hendak hidup dari kebenaran yang memerdekakan, yang bahkan tak bisa dipaksa tunduk oleh desakan lockdown. Sementara itu, di sekeliling tempat saya sudah bertebaran palang lockdown dengan aneka variasinya. Semoga itu sesuai dengan pembatasan sosial skala besar, tetapi yang lebih penting, semoga semakin banyak warga yang belajar hidup sehat, mulai dari rajin cuci tangan, etiket bersin/batuk, sampai mengikuti anjuran bokong truk gandeng untuk jaga jarak.

Tuhan, mohon rahmat kebenaran-Mu yang membebaskan kami dari ketakutan. Amin.


HARI RABU PRAPASKA V
1 April 2020

Dan 3,14-20.24-25.28
Yoh 8,31-42

Posting 2019: Menanam Jagung ’98
Posting 2018: To tell you the truth
Posting 2017: Manakah Agama Allah?

Posting 2016: Keliatannya Aja Bebas
 
Posting 2014
: Kebebasan Macam Apa