Syukur Abadi

The best use of life is to spend it on something that lasts longer than life itself. Mungkin begitulah kira-kira kata William James, salah seorang tokoh aliran pragmatisme dari negeri Paman Sam. Njuk bagaimana orang yang de facto menjalani masa karantina atau pembatasan sosial berskala besar atau yang opname di rumah sakit ya? Boro-boro mau menggunakan hidupnya lebih langgeng daripada usianya sendiri, untuk survive aja susah!

Mari tilik cerita dari Italia, kisah seseorang yang berusia nyaris seabad dan mesti dirawat di rumah sakit karena problem saluran pernafasan. Setelah keadaannya membaik, pasien dan keluarganya diberitahu pihak rumah sakit bahwa mereka mesti membayar pemakaian ventilator per hari. Dokter yang merawat pasien ini menyampaikan maaf karena pihak rumah sakit lebih mendahulukan keselamatan pasien daripada administrasi rumah sakitnya. Biaya penggunaan ventilator ini memang sangat mahal, tetapi mereka tak hendak menunda perawatan pasien karena persoalan biaya. Alhasil, rumah sakit memiliki kebijakan untuk menaruh negosiasi biaya perawatan setelah pasien membaik atau sembuh. 

Keluarga terkejut mendengar adanya tarif penggunaan ventilator dan sang pasien menangis. Dokter menjelaskan bahwa tarif itu bisa dinego sehingga tak perlu pasien bersedih hati. Jawab sang pasien,”Aku menangis bukan karena harus bayar. Kami bisa membayar berapa pun biaya yang diperlukan. Aku menangis karena sudah hampir satu abad aku menghirup udara dari Allah dan tak pernah sepeser pun aku membayar-Nya. Kamu tahu berapa banyak hutangku pada-Nya? Aku belum pernah bersyukur pada-Nya untuk udara yang gratis itu.”
Kiranya pasien itu juga bergumul dengan nasihat William James dan rupanya jawaban dia temukan dalam kata syukur kepada Dia yang melampaui rentang ruang dan waktu.

Teks bacaan-bacaan hari ini menyinggung tokoh Abraham. Dalam bacaan pertama ditunjukkan perjanjian Allah dengan Abraham. Dari pihak Allah dijanjikan bahwa Abraham akan menjadi bapa bagi banyak bangsa. Dari pihak Abraham dan keturunannya diminta kesetiaan kepada Allah.
Sayangnya, dalam bacaan kedua diinsinuasikan bahwa keturunan Abraham ini malah mabuk Abraham. Apa-apa saja patokannya Abraham.

Abraham menjadi seperti mumi, berhala yang tak punya keterbukaan pada perubahan. Keturunan Abraham itu malah hendak merajam orang yang mengingatkan mereka pada perjanjian asli antara Allah dan Abraham. Ini adalah kelompok orang yang hidup keagamaannya akrab dengan tradisi masa lalu yang triumphalistic, yang tak peduli pada transformasi hidup. Ironis memang, seperti hidup orang beragama pada umumnya: memberhalakan sosok yang justru menjadi populer lantaran menentang pemberhalaan orang.

Hidup Abraham sendiri mempersaksikan bagaimana ia mematahkan masa lalunya dan mengikuti panggilan Allah yang mendobrak ketidakmungkinan masa depannya. Sebagian keturunannya malah keukeuh pada kebesaran Abraham sebagai tolok ukur. Mereka lupa bahwa Abraham dan nabi-nabi sebelum mereka punya bagian tugas mereka sendiri, dan sudah sewajarnya keturunan Abraham itu mencari jalan baru yang klop dengan perubahan konteks hidup mereka. Sayangnya, orang beragama seperti ini mengkhianati pesan dan semangat perjanjian Allah dan Abraham. Mereka memanfaatkan hidup hanya untuk hal-hal yang kelanggengannya cuma secuil persen dari hidup mereka.

Ya Allah, mohon rahmat supaya segala pekerjaan kami semata berasal dari syukur kepada-Mu. Amin.


KAMIS PRAPASKA V
2 April 2020

Kej 17,3-9
Yoh 8,51-59

Posting 2019: Dari Bilik Rekonsiliasi
Posting 2018: 20 Ngibulin 30

Posting 2017: Agama Kok Kompetitif

Posting 2016: Gosip Aja

Posting 
2015: Batu Mulia
Posting 2014: Ikut Dia, Kagak Ada Matinye