Di sebuah kuil di Delphi, Yunani, ada sebuah tulisan terkenal yang kalau diterjemahkan jadi berbunyi: know yourself! Maksud aslinya kurang lebih begini: “Tahu dirilah bahwa kamu hanyalah manusia dan masuk kuil dengan kesadaran bahwa antara dirimu dan para dewa atau dewi ada jurang perbedaan yang besar”. Belakangan, filsafat pengetahuan Plato membuka perspektif tulisan tadi kurang lebih jadi begini: “Kenalilah dirimu sendiri, yaitu kebesaran dirimu, bahwa kamu punya jiwa abadi yang tinggal dalam dunia ilahi.” Ini adalah refleksi para filsuf yang belum melibatkan iman personal yang digumuli agama-agama.
Dalam dunia agama, kalau Allah menjadikan sabda-Nya sebagai suatu hukum, tentu maksudnya supaya dengan realisasi hukum itu manusia dapat mencecapi hidup ilahi. Kalau Allah mewahyukan sabda-Nya dalam Kitab Suci, itu juga tak lain supaya dengan menghidupi Kitab Suci, manusia bisa merealisasikan hidup ilahi. Sabda Allah yang jadi manusia, dengan demikian, tak lain adalah jalan supaya orang dapat menimba darinya untuk menjadi jalan hidup ilahi. Dalam terminologi Kristiani, yang kerap disalahpahami, Allah menjadi manusia sedemikian rupa supaya manusia bisa menjadi seperti Allah dalam keilahian. Sayang beribu sayang, orang beragama cenderung terburu-buru mengklaim suatu hidup ilahi dan kata “seperti” itu malah hilang. Alhasil, orang berlagak sebagai Allah yang bisa menghakimi alam semesta.
Teks bacaan hari ini menyodorkan perseteruan tak terdamaikan antara Guru dari Nazareth dan mereka yang menganggapnya sebagai penista Allah. Orang-orang Yahudi tak percaya pada kesaksian Guru dari Nazareth, bukan karena perbuatan baiknya, melainkan karena klaimnya sebagai “anak Allah”. Mereka menghakimi Sang Guru sebagai penista Allah, suatu tindakan yang sebetulnya direservasi bagi Allah sendiri. Kalau ada orang mengklaim dirinya (anak) Allah, bukankah itu haknya? Bukankah itu urusannya sendiri dengan Allah apakah dia menghujat Allah atau tidak? Yang jadi wewenang manusia hanyalah menilai apakah klaim orang itu merampas martabat kemanusiaan, bukan?
Tak usah susah-susah memikirkannya. Kalau ada orang yang mendeklarasikan dirinya sebagai Pangeran Diponegoro atau Ignasius dari Loyola, bukankah dia punya hak untuk itu? Orang di sekitarnya tinggal melihat saja apakah sepak terjangnya menyokong transformasi kemanusiaan atau ujung-ujungnya duit atau rebutan posisi atau jabatan, bukan? Begitu pula kalau ada orang yang menggembar-gemborkan dirinya sebagai anak Allah! Lihat saja perilakunya, klop dengan sifat-sifat Allah atau tidak.
Dari dirinya sendiri, manusia tak bisa dan tak seharusnya menempatkan diri sebagai Allah. Mereka yang berpretensi dari dirinya sendiri bisa menentukan baik-buruk, benar-salah, tepat-sesat, malah merenda suatu tragedi. Referensi Guru dari Nazareth pada Mazmur 82 sebenarnya merupakan undangan kepada lawannya untuk melihat bagaimana Kitab Suci sendiri menjuluki “allah” kepada mereka yang berdiri sebagai hakim. Allah sendirilah hakim agungnya, tetapi sebagian orang (beragama) menempatkan diri seakan-akan merekalah yang punya kata terakhir atas kebenaran, kebaikan, atau keindahan hidup. Tragedinya ialah bahwa mereka ini tak kunjung mengenali diri sendiri. Lebih tragis lagi jika “mereka” itu akhirnya menjadi “kita”, dan peluang untuk itu senantiasa terpelihara jika kerendahhatian absen.
Ya Allah, mohon rahmat supaya kami semakin mengenali diri di hadirat-Mu dan tidak main hakim sendiri. Amin.
HARI JUMAT PRAPASKA V
3 April 2020
Posting 2019: Pasukan Elite
Posting 2018: That’s not funny
Posting 2017: Si Penista Agama Itu
Posting 2016: Menggambar Allah Lagi
Posting 2015: Mulutmu Hariwowmu
Posting 2014: Kairos, Siapa Takut?
Categories: Daily Reflection