Saya kehilangan selera terhadap berita-berita politik. Saya tahu update berita politik penting justru untuk memahami bagaimana politik semestinya. Akan tetapi, itu tidak menumbuhkan selera dan sering cuma bikin prihatin ala eks presiden. Kalau sudah bosan prihatin ya tinggal tertawa saja.
Ndelalahnya, kisah dalam teks Kitab Suci pun tak luput dari narasi politik yang bisa bikin kepala geleng-geleng juga. Teks bacaan pertama menginsinuasikan bahwa bahkan lockdown bangsa Israel di tanah pembuangan tidak otomatis membuat mereka bertobat, malah cari-cari berhala seturut kesukaan mereka. Mereka tercerai berai. Ini bukan situasi unik di Timur Tengah sana. Bukankah di tanah sini juga terjadi seperti itu? Presidennya lagi puyeng menata negara untuk menghadapi Covid-19, yang mesti saja ada bolongnya, kok ya tega-teganya ada orang yang memanfaatkan haknya, entah untuk apa; selagi pemerintah meminta pembatasan kerumunan, kok ya pejabat kepolisian sampai hati melangsungkan pesta mantenan; belum lagi gabener berefek kejut getarnya yang menyodorkan logika pemicu paranoia.
Tapi ya mau bagaimana lagi, memang setiap orang mesti mengambil sikap, dan pengambilan sikap itu tak selalu berpangkal pada data. Bahkan, kalau data yang diambil sama pun, orang bisa mengambil sikap seturut kepentingan politiknya sendiri, bukan? Bacaan kedua menunjukkan hal itu. Mereka yang datang ke tempat Maria dan menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana Lazarus yang telah mati itu keluar dari kubur mengambil sikap yang berbeda. Sebagian percaya kepada pewartaan Guru dari Nazareth, sebagian lainnya pergi kepada pemuka agama yang di kepalanya cuma ada jumlah umat, ritual, kekuasaan, dan sejenisnya. Dari situ, persekongkolan untuk membunuh Guru dari Nazareth semakin kuat.
Reaksi ini memang bisa bikin geleng-geleng kepala, tetapi sekurang-kurangnya gelengan kepala itu juga perlu dilandasi pengertian secukupnya. Konon, hidup 58% (atau kurangi 8% deh) warga Yerusalem sepenuhnya bergantung pada roda ekonomi yang berpusat di Bait Allah. Seperti sebelumnya dikritik oleh Guru dari Nazareth itu, kompleks Bait Allah dijadikan lahan bisnis. Sentimen agama memang joss bagi mereka yang kecanduan agama: entah itu berupa lagu, pakaian, tempat wisata (berilah embel-embel rohani), tafsir mimpi, ramalan, dan sebagainya. Mengutak-atik tempat suci berarti mengutak-atik penghidupan separuh warga Yerusalem ini; dan rupanya itulah yang pernah dilakukan Guru dari Nazareth!
Selain itu, kalau satu orang ini berpengaruh, bisa jadi penjajah Romawi akan kembali merepresi mereka dan menghancurkan Yerusalem. Jadi, mending satu orang ini saja dihabisi demi kelangsungan hidup warga Yerusalem tadi. Mabuk agama plus motif politik: joss gandhoz. Kalau itu terjadi, bagaimana mesti memaknai kegelapan hidup ini? Kembali ke kisah Lazarus keluar dari kubur: “Penyakit itu tak akan membawa kematian, tetapi demi kemuliaan Allah.” Lah, kemuliaan Allah gimana, wong nyatanya mortality rate akibat Covid-19 lebih tinggi dari tingkat kematian global?
Lha ya mengapa lebih berselera pada mortality rate? Mengapa tak menaruh selera pada bagaimana dokter, tenaga kesehatan, sukarelawan, warga biasa yang menunjukkan solidaritas untuk membangun jaringan pengaman sosial? Bukankah dari sana kelihatan bagaimana Allah senantiasa memberi pengharapan supaya orang bergotong royong?
Ya Allah, mohon rahmat kemerdekaan untuk mengaktualkan kemuliaan-Mu dalam hidup bersama kami. Amin.
HARI SABTU PRAPASKA V
4 April 2020
Posting 2019: Hoaks Dulu sebelum Sidang
Posting 2017: Semoga Damai Menyertaimu
Posting 2015: Musuh Bersama
Posting 2014: Divide et Impera, Hari Gini?
Categories: Daily Reflection