Undress us, Lord, of every shadow of arrogance. Put on the clothes of mercy and sweetness. Give us a future full of grace, light and irrepressible love for life.
Begitu terjemahan doa tetangga jauh saya yang bernama Tonino yang tampan, dan doa itulah yang bergema dalam batin sekeluar saya dari bilik pengakuan atau barangkali sekarang lebih baik disebut sebagai bilik rekonsiliasi.
Ini sharing saya dari perspektif imam yang mendengarkan ‘pengakuan dosa’ umat Katolik. Saya tidak bisa membocorkan rahasia pengakuan, dan sebetulnya juga saya sebagai imam tak boleh menuturkan apa yang terjadi di dalam bilik pengakuan. Satu pengalaman saya ceritakan dalam posting Ngaku Dosa… Apa Gunanya, karena itu terjadi jauh dari jangkauan umat di sini dan saya maksudkan untuk memberikan sedikit penjelasan mengenai relevansi bilik rekonsiliasi alias pengakuan dosa.
Tak sedikit umat yang mengira bahwa imam yang mendengarkan pengakuan itu mengingat dosa yang diakukan umatnya. Yang senyatanya terjadi ialah begitu sudah ganti orang, bahkan begitu umat keluar dari bilik pengakuan, saya sudah lupa dosa yang tadi diakukan. Di akhir pelayanan memang saya mereview apa yang terjadi, termasuk jenis-jenis dosa yang diakukan, tetapi bukan berarti saya mengingat-ingat siapa yang melakukan apa [mending waktunya buat bikin paperlah!], melainkan saya mendoakan semua yang datang mengaku dosa dan mohon kemurahhatian Allah supaya mereka semua diberi jalan pertobatan yang konkret demi hidup mereka sendiri dan sesama.
Dengan doa Tonino tadi, saya sendiri terbantu untuk tidak menghakimi, tetapi semakin mengalami kerapuhan sekaligus cinta murah hati Allah dalam hidup. Konkretnya begini. Kalau orang datang dan mengisahkan pergumulan dosanya, secara manusiawi saya bisa bereaksi arogan dan kalau sudah menyangkut dosa yang jelas-jelas menantang cara hidup yang saya tekuni, bisa saja saya merasa tak rela untuk memberikan pengampunan. “Wah enak sekali dia bisa menginjak-injak nilai yang saya hidupi dengan bercucuran air mata dan penyangkalan diri!” Akan tetapi, dalam hal seperti itu, imam juga bergumul karena yang jadi misinya justru adalah menampakkan sosok Allah Yang Maharahim, yang mengampuni tanpa syarat.
Lha ya kalau sudah pasti Tuhan itu mengampuni, ngapain ngaku dosa segala, Rom? Nah, itu balik lagi ke posting yang saya singgung tadi: apa gunanya ngaku dosa (kalau cuma untuk mengerti bahwa Allah itu maha pengampun)?
Pada kenyataannya, meskipun di kepala orang ada pengetahuan bahwa Allah itu maha pengampun, tidak otomatis ia bisa mengalami pengampunan, lebih-lebih ia sendiri tak punya pengalaman untuk mengampuni. Mengapa orang susah mengampuni?
Kalau dilihat dari teks bacaan hari ini, ya karena ia memelihara arogansinya, seperti ditunjukkan orang-orang Yahudi yang berselisih dengan Guru dari Nazareth.
Tak ada konsep Allah yang senantiasa sedia mengampuni bagaimanapun beratnya dosa manusia persis karena mereka sendiri tidak bisa memberi pengampunan. Tak mungkin orang bisa mengampuni jika ia tidak mendengarkan Yang Lain. Begitu orang mau menundukkan Yang Lain itu, ia mengobjekkan Yang Lain sehingga Tuhan pun mesti tunduk pada apa yang ia sendiri pikirkan. What an arrogance!
Tuhan, tambahkanlah kerendahhatian dalam hati kami untuk mendengarkan kehendak-Mu. Amin.
KAMIS PRAPASKA V
11 April 2019
Posting 2018: 20 Ngibulin 30
Posting 2017: Agama Kok Kompetitif
Posting 2016: Gosip Aja
Posting 2015: Batu Mulia
Posting 2014: Ikut Dia, Kagak Ada Matinye
Categories: Daily Reflection