Anda bisa dengan mudah mengetikkan “Vatikan sepi” untuk menemukan puisi berjudul “Bubarnya Agama” yang sempat viral setelah Covid-19 jadi pandemi. Isi puisi itu tak menggambarkan judulnya, tetapi mungkin tepat untuk mengiringi Sabtu Sepi. Saya mau menggarisbawahi ayat “Corona datang seolah-olah membawa pesan bahwa ritual itu rapuh!” dengan menghilangkan modalitas “seolah-olah”. Jadi, dalam pandangan saya, sekali lagi, menurut saya, memang corona datang dengan pesan bahwa ritual itu rapuh! Saya menunjukkan kerapuhannya antara lain dalam posting seperti Agen Ritual atau Tak Ada Tuhan dalam Liturgi. Kalau berkenan membaca, silakan membuka tautannya.
Saat melihat tayangan lockdown di Wuhan beberapa bulan lalu, saya bertanya-tanya, apa yang dikerjakan rekan-rekan sejawat saya jika terjadi interupsi aktivitas seperti di Wuhan. Saya ‘beruntung’ karena tugas utama saya tidak langsung berhubungan dengan umat atau jemaat agama. Urusan saya hanya dengan perpustakaan. Masih ada internet dan server yang menyimpan data literatur tak terkena lockdown atau pembatasan sosial berskala gědhé. Sedangkan para pastor paroki yang bertanggung jawab untuk memimpin umat di gereja tertentu, apa yang bisa mereka lakukan pada saat isolasi?
Pertanyaan itu sepertinya terjawab dengan apa yang sekarang sudah mulai trending: misa onlen. Para pastor menyiapkan komisi komunikasi sosial (Komsos) untuk membuat ibadat dapat diakses secara live-streaming. Umat di teritori Jawa bahkan bisa mengikuti misa onlen yang disiarkan dari Papua. Umat bisa mengatur sendiri jam berapa ia hendak mengikuti ibadat karena ada banyak opsi. Ia bahkan bisa memilih pastor mana yang disukainya dan menyesuaikan diri dengan jadwal misa onlen pastor idolanya. Tampaknya, dengan itu ditunjukkan adanya fleksibilitas agama, yang dapat mencari bentuk baru dalam ritual kolektif dengan bantuan teknologi.
Akan tetapi, justru itulah persoalannya: apakah fleksibilitas agama terukur oleh penyelenggaraan ritualnya yang bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi isolasi? Saya kembali kepada penegasan saya tadi: ritual itu rapuh, tak tergantikan oleh teknologi. Pun jika ritual kolektif onlen bisa menggantikan yang offline, sifat rapuhnya tak hilang: bergantung pada PLN, genset, provider, dan tentu saja paket data. Kalau begitu, ritual kolektif onlen ini sebetulnya cuma berlaku bagi horang kaya yang punya cukup paket data.
Itu antara lain mengapa saya waspada terhadap tren ibadat onlen: umat merasa lega sudah menunaikan kewajiban ritual agama dan kelegaan itu dibangun di atas lupa bahwa tak semua umat bisa menunaikannya. Kalau itu dianggap sesuatu yang wajar (bisa ibadat onlen ya bagus, enggak juga gapapa), berarti semakin tegaslah bahwa ritual itu rapuh, bukan hal yang terpenting dalam agama. Konsekuensinya, bangunan tempat ibadat megah dengan marmer dan emas tidaklah relevan. Begitu pula pertikaian berkenaan dengan tempat ibadat tak lain hanyalah perseteruan kekanak-kanakan (meskipun dengan argumentasi HAM) yang rebutan jemaat, lahan, jabatan, dan seterusnya.
Corona menyodorkan cermin ke belakang bahwa juga orang-orang beragama berjibaku untuk sesuatu yang sia-sia. Semoga corona menjadi bantuan bagi agama untuk menemukan sungguh-sungguh dalam kesepiannya: mana sajakah kesia-siaan yang selama ini dipertontonkan oleh agama? Kalau ini tak terjawab, juga dalam masa sepi ini, work from home atau bahkan lockdown tidak mengubah apa-apa: begitu selesai isolasi, mulai lagi polusi, sibuk mengejar materi, repot bersolek diri, berjibaku bikin dana abadi, menjunjung tinggi kepentingan diri. Tampak ramai sekali, tapi sebetulnya persis di situlah sepi. Agama tanpa api.
Posting 2015: Sabtu Sepi nan Galau
Posting 2014: Living our own deaths
Categories: Daily Reflection