Tuhan tak bertangan. Dia hanya punya tangan kita untuk melakukan pekerjaan-Nya. Dia tak berkaki. Tuhan hanya punya kaki kita untuk menuntun orang dalam jalan-Nya. Allah tak bermulut. Dia hanya punya mulut kita untuk mengisahkan cinta-Nya kepada makhluk lain. Tuhan tak punya fasilitas. Dia hanya punya kita untuk membawa orang kepada-Nya.
Kitalah satu-satunya Kitab Suci yang masih dibaca orang, kitalah pesan Allah terakhir dalam karya dan kata. Apa jadinya jika teks itu keliru dan tak terbaca? Bagaimana jika tangan kita sibuk dengan hal lain, alih-alih dengan-Nya. Bagaimana jadinya jika kaki kita melangkah ke tempat lain yang menarik orang untuk tersesat? Apa jadinya kalau mulut kita menuturkan ungkapan yang bakal ditentang-Nya? Itu adalah contoh renungan, yang dalam perspektif kristiani bisa dilanjutkan dengan pertanyaan: mungkinkah orang mengabdi Kristus tanpa mengikuti-Nya?
Saya sangat jarang memberikan renungan, dan posting hari ini pun cuma menyodorkan paragraf di atas sebagai renungannya. Seperti biasa saya menyediakan points to ponder berdasarkan refleksi yang saya dapat dari teks bacaan hari ini, meskipun tidak saya eksplisitkan apa points yang saya sediakan itu [loh piye ta Rama ki mbingungi].
Tidak seperti biasanya, Guru dari Nazareth dalam kisah hari ini tidak menyinggung soal iman yang dimiliki orang yang meminta kesembuhan. Beliau malah menyinggung iman orang-orang lain, yaitu yang membawa orang lumpuh kepadanya. Tidak diidentifikasi siapa mereka itu, tetapi jelaslah mereka punya kesamaan harapan akan kesembuhan orang lumpuh yang mereka bawa. Harapan itu tidak mereka simpan dalam batin, tetapi diwujudkan dalam kerja sama untuk membantu orang lumpuh.
Hal menarik lainnya ialah yang dikatakan Guru dari Nazareth itu kepada si lumpuh. Sewajarnya, karena harapan orang-orang yang membawa si lumpuh itu adalah kesembuhan si lumpuh, Guru dari Nazareth menanggapinya dengan penyembuhan. Iya sih, memang si lumpuh itu sembuh, tetapi kesembuhannya dari kelumpuhan itu hanyalah konsekuensi dari hal yang disinggung Guru dari Nazareth. Alih-alih mengatakan “Berdiri dan berjalanlah!”, beliau meyakinkan si lumpuh bahwa dosanya sudah diampuni. Tentu saja ini mengundang reaksi keras dari pemuka agama, tetapi begitulah kenyataan yang diwartakan Guru dari Nazareth.
Rupanya, Guru dari Nazareth ini mengerti benar bahwa kelumpuhan yang fundamental justru adalah kelumpuhan rohani, sebagaimana kemarin ditunjukkan bagaimana manifestasi roh jahat terdapat pada ketakutan yang menghambat orang bergerak dalam koridor kebenaran. Sudah saya singgung dalam Some Notes on Healings bahwa orang-orang yang dinarasikan dalam Kitab Suci itu mencari kesembuhan dalam pemaknaan hidup mereka. Virus dan bakteri jadi sekunder. Tidak mengherankan jika Guru dari Nazareth mengaitkannya dengan pengampunan dosa, karena keberdosaan menghambat orang untuk memaknai hidupnya dengan perspektif yang lebih luas: bukan virusnya yang penting, melainkan sikap hidup orang terhadap virusnya.
Itu memang paradigma yang berbeda dari paradigma modern. Kalau orang sakit ya cari apa penyebabnya dan dari situ bisa ditentukan obatnya apa. Akan tetapi, berdasarka pelajaran La vita è bella kemarin dulu, satu paradigma rupanya tak cukup. Guru dari Nazareth menegaskan bagaimana kepercayaan pada Allah yang pengampun lebih menyembuhkan daripada aneka elaborasi manusia mengenai dosa.
Tuhan, semoga semakin banyak orang mengalami pengampunan-Mu. Amin.
KAMIS BIASA XIII A/2
2 Juli 2020
Kamis Biasa XIII B/2 2018: Bangunlah Jiwanya
Kamis Biasa XIII C/2 2016: Minta Jemput Dong
Categories: Daily Reflection
👍mksh Rm. Pencerahannya bgs dn bs diterima🙏
LikeLike