Selera Seragam

Mereka yang punya problem dengan pluralitas biasanya beranggapan bahwa merekalah pemegang kebenaran. Itu tak menjelaskan apa-apa karena memang semua orang mengejar kebenaran dan wajarlah mereka menganggap apa yang mereka jalani adalah jalan menuju kebenaran itu. Persoalannya tidak terletak pada perbedaan versi kebenaran, tetapi pada tendensi untuk memaksakan versi kebenarannya kepada yang mereka yang berbeda.

Teks bacaan hari ini menyajikan contohnya. Murid-murid Yohanes dan kaum Farisi berpuasa dan mereka mempertanyakan mengapa murid-murid Guru dari Nazareth tak berpuasa. Tentu wawasan murid-murid Yohanes terbatas, tak melihat bahwa tradisi puasa itu terjadi di mana-mana dalam tradisi religius yang berbeda-beda. Menangkap makna di balik praktik yang berbeda-beda memang tidak bisa diandaikan terjadi begitu saja bahkan dalam diri orang-orang beragama (atau justru karena orang-orang beragama ya?🤭).

Guru dari Nazareth sendiri konon menjalani puasa empat puluh hari empat puluh malam, tetapi sama sekali tak terdapat laporan bahwa beliau meminta murid-muridnya melakukan puasa yang sama. Beliau membebaskan murid-muridnya untuk berpuasa dengan cara yang berbeda. Puasa adalah momen manusia untuk membuat hidup fisik dan mentalnya menjadi relatif. Kata ‘relatif’ tidak berarti tidak penting, tetapi merujuk pada keterhubungan dengan sesuatu yang lain. Ini dijelaskan dengan alegori mempelai laki-laki dan sahabat-sahabatnya. Kalau kedua pihak ini ada bersama secara fisik dan mental, tidak perlu ‘relatif-relatifan’, wong ya sudah terhubung dalam ruang waktu yang sama.

Baru kalau ruang-waktu berbeda, hidup fisik-mental perlu ‘direlatifkan’ terhadap roh yang memungkinkan orang hidup sebagai makhluk Allah. Rupanya begitulah yang terjadi pada para murid Guru dari Nazareth. Selama mereka hidup bersama guru mereka, tampaknya mereka tak punya kebiasaan berpuasa. Setelah kepergian Guru dari Nazareth, barulah mereka pelan-pelan mengerti bagaimana membuat hidup mereka relatif terhadap roh yang diberikan Guru dari Nazareth itu. Mereka tak bisa lagi pesta-pesta melulu dan butuh askese untuk menyelaraskan hidup mereka dengan roh tadi.

Bentuk askese pun menjadi relatif terhadap konteks hidup setiap orang dan dengan demikian setiap orang perlu mengenali sendiri bentuk mana yang cocok baginya. Alegori kantong anggur lama dan anggur baru tidak merujuk pada ajaran agama lama dan baru, tetapi pada keselarasan antara isi dan bentuknya. Saya pernah cerita bagaimana dulu saya memberikan latihan askese kepada anak murid saya (ada di tautan ini). Tidak banyak gunanya meminta orang bekerja keras untuk menghindari sesuatu yang penting dan bernilai tetapi tidak disukainya. Itu latihan kemunafikan namanya: di luarnya kelihatan rajin, di dalamnya pelarian.

Setiap orang beriman mesti mengambil pilihan sendiri mana ungkapan dan wujud iman yang diperlukan, yang cocok dalam konteks hidupnya yang khas, alih-alih bersembunyi di balik tameng agama. Sayangnya, kata ‘cocok’ cenderung diasosiasikan dengan selera. Selera fisik memang mengikuti hukum panca indra, tetapi selera rohani mengandalkan intuisi rohani yang tak cukup dibangun dengan modal perasaan like-dislike. Lebih menantang lagi, selera rohani mungkin malah melampaui batas-batas agama. Tak mengherankan, seperti murid-murid Yohanes, mereka yang terkungkung dalam batas agama tidak punya selera rohani: pokoknya seragam.

Ya Allah, mohon rahmat kebijaksanaan untuk semakin mengerti apa saja yang kami perlukan untuk memuliakan nama-MuAmin.


SABTU BIASA XIII A/2
4 Juli 2020

Am 9,11-15
Mat 9,14-17

Sabtu Biasa XIII B/2 2018: Nasib Pembantu
Sabtu Biasa XIII C/2 2016: Puasa Pesta atau Pesta Puasa?