Kalibrasi Hidup

Momen demo ’98 muncul di benak saya ketika membaca teks hari ini mengenai Guru dari Nazareth yang tergerak hatinya oleh belas kasihan saat memandang begitu banyak orang telantar seperti kawanan domba tanpa gembala. Ceritanya saya tulis dalam posting Menanam Jagung ’98. Suasana cair tidak selalu menguntungkan, sebagaimana ritual kaku juga tak selalu menguntungkan. Akan tetapi, saya tak hendak menyinggung ritualisme lagi, bosan. Saya mau melihat bagaimana reaksi orang terhadap pewartaan Guru dari Nazareth yang punya bela rasa terhadap begitu banyak orang yang mengalami disorientasi.

Reaksi pertama ditunjukkan oleh orang banyak itu sendiri, yang masih punya nalar untuk melihat bahwa peristiwa sembuhnya orang bisu karena kerasukan itu adalah peristiwa langka yang belum pernah mereka lihat, bahkan dalam sejarah bangsa mereka. Artinya, di mata mereka, ada jenis tindakan Allah yang termanifestasikan oleh pembebasan orang dari ikatan roh jahat yang membuat orang diam seribu satu bahasa. Reaksi kedua tampak dalam reaksi sekelompok orang di antara orang banyak itu yang malah melihat kesembuhan orang bisu sebagai tindakan setan.

Kok isa ya, faktanya sama, atributnya berbeda? Lha iya bisa, wong namanya perspektif. Biar bagaimanapun, perspektif tidak mengubah fakta, tetapi membedakan cara orang melihat. Celakanya, orang tidak selalu menyadari perspektifnya, sebagaimana Anda yang berkacamata tidak perlu terus menerus sadar bahwa kacamata yang Anda pakai adalah kacamata gaya atau kacamata progresif. Bisa terjadi orang mencari ke sana kemari kacamata yang sebenarnya sudah terpasang di kepalanya sendiri. Di situlah tindakan orang jadi konyol. Kalau hanya sekadar konyol, mungkin malah bisa menghibur orang lain, tetapi kalau tolol, itu bisa bikin dunia terbalik bagi dirinya sendiri; yang sebetulnya benar dilihat salah, yang sebetulnya salah malah dilihat benar.

Loh, lha iya justru itu masalahnya, Rom! Siapa yang punya tolok ukur untuk menyebut ‘yang sebetulnya’? Bukankah kemarin sudah disinggung bahwa setiap orang tentu mengejar kebenaran seturut perspektifnya masing-masing?
Betul, makanya perspektif itu perlu terbuka pada kemungkinan untuk kalibrasi, cuci lensa, benchmark, dan sejenisnya. Itu seperti timbangan saya yang tidak pernah dikalibrasi, lama-lama bikin berat badan berkurang meskipun kekuatan ilmu meringankan tubuh saya semakin merosot. [Halah, mbok wis omong waé makin gendut, Rom.]

Kalibrasi hidup beriman, celakanya, tidak pernah berhenti pada tolok ukur ‘di luar sana’ alias apa kata orang atau masa lalu bin tradisi atau masa depan yang jadi mimpi.
Behind you, all your memories. Before you, all your dreams. Around you, all who love you. Within you, all you need.
Betapa orang ribut dengan masa lalu, masa depan, atau orang-orang di sekelilingnya, padahal yang dibutuhkannya sebetulnya justru apa yang ada ‘di dalam sini’. Orang-orang Farisi berbakti pada tradisi, bermimpi sebagai pejabat tinggi, oleh orang-orang sekelilingnya dihormati, tetapi kehilangan kesadaran diri. Pada momen seperti itu, perspektif keagamaannya menuntun pada kegelapan: semua yang mengancam dirinya adalah setan. Allah dalam diri orang-orang seperti ini, mungkin saya dan Anda, tak lain adalah berhala.

Ya Allah, mohon rahmat untuk melakukan kalibrasi iman supaya hidup kami dapat senantiasa membawa terang-Mu. Amin.


HARI SELASA BIASA XIV A/2
7 Juli 2020

Hos 8,4-7.11-13
Mat 9,32-38

Selasa Biasa XIV B/2 2018: Korban Ritualisme
Selasa Biasa XIV C/2 2016: Tendang Aja
Selasa Biasa XIV A/2 2014: Bela Rasa vs Tindakan?

1 reply

  1. AUTO KRITIK

    Aku menuju padang gurun dan berteriak:

    Tuhan, Engkau menyelidiki dan mengenal aku;
    Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh.
    Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku Kaumaklumi.
    Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, ya TUHAN.
    Dari belakang dan dari depan Engkau mengurung aku, dan Engkau menaruh tangan-Mu ke atasku.
    Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya.
    Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu?

    Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situpun Engkau.
    Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut,
    juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku.

    Jika aku berkata: “Biarlah kegelapan saja melingkupi aku, dan terang sekelilingku menjadi malam,”
    maka kegelapanpun tidak menggelapkan bagi-Mu, dan malam menjadi terang seperti siang; kegelapan sama seperti terang.
    Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku.

    Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.
    Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya!
    Jika aku mau menghitungnya, itu lebih banyak dari pada pasir. Apabila aku berhenti, masih saja aku bersama-sama Engkau.

    Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku;
    lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!

    Angin sepoi berhembus, dan tiba2 Tuhan Yesus sudah berdiri di sampingku.

    Kamu koq berteriak2 di sini. Liriknya
    Beritahu aku dahulu, Tuhanku. Ini Tuhan yang mana.
    Guru dari Nazareth.
    Lalu kami tertawa bersama, pada kelucuan yang hanya kami mengerti #Kalau aku menuju rumah Tuhan yang satu lagi dalam masa pandemi, bisa2 aku didepak keluar#

    Mengapa berteriak2?
    Aku kangen. Hihihi….kami cekikikan lagi berdua, hanya pada lelucon yang kami sendiri mengerti.

    Aku baru menonton Hidden Moon. Dan aku tidak suka. Laporku.
    Lha siapa yang menyuruh kamu nonton?
    Romo ku. Hihihi … sekarang aku ketawa sendiri
    Lha kalau tidak suka mengapa ditonton?
    Namanya juga kepo, Tuhan. Tapi aku menontonnya cepat2. Aku lihat awalnya, skip skip tengah. Skip skip akhir. Selesai. Dan seperti biasa mereka mengharapkan penyelamatan itu datang dari tokoh perempuan. Tidak ada yang disalahkan, hanya si perempuan itu. Apakah mereka menganggap perempuan itu sumber masalah dan jarang bisa berfikir jernih?

    Ya biarkan saja. Kita menonton film kesukaanmu saja. Hihi asiiiik…lalu terbentang layar semesta di hadapan kami, film culun memang, tapi aku lebih suka daripada film yang satu lagi “SPONGEBOBTHESQUAREPANTS”. Horeeee…manusia spons yang sekalipun digencet, dipelintir, dibanting, akan membal kembali seperti semula. Menu kami menonton hanya air putih jernih, itu minuman yang paling masuk akal di padang gurun.

    Tuhan Yesus, anu, sekarang Romo ku menganggap kami adalah berhala. Hihihi…
    Hush, barangkali Romo mu pikirannya lagi penuh, penuh dengan pedang langit dan golok naga, hihihi… #ngibritsebelumdisambit#

    Like