Semalam kami menonton film dewasa berjudul Hidden Moon, tanpa sensor [lha sing arep disensor ya apa?]. Jebulnya ini drama romantis, ya ampun. Serial yang kami tonton setiap hari selain akhir pekan, Pedang Langit dan Golok Naga, juga ternyata film romantis, ya ampun lagi deh. Ndelalahnya, teks bacaan pertama hari ini juga ditutup dengan janji romantis Allah. Lagi-lagi ampun deh.
Jangan-jangan, memang hidup ini sendiri pada dasarnya adalah suatu romantika beriman ya. Klarifikasi dulu. Dalam KBBI, kata romantis dan romantika merujuk pada dua hal yang berbeda. Yang pertama berarti sifat mesra atau mengasikkan. Yang kedua berarti seluk beluk hal yang memuat kegembiraan dan kesedihan. Bukankah beriman itu juga ada suka dukanya? Bahkan, kalau suka duka itu mau diangkat levelnya di atas rasa perasaan, bukankah hidup beriman menghadirkan suatu konsolasi dan desolasi?
Cerita Hidden Moon atau wuxia (cerita silat) novelis Jin Yong berjudul Pedang Langit dan Golok Naga memang rekaan, tetapi rekaan itu tidak jatuh dari langit. Keduanya muncul dari kerinduan makhluk akan cinta sejatinya. Maaf, jangan salah, bisa jadi Anda langsung mengasosiasikan cinta sejati itu dengan sosok orang tertentu. Itu salah tetapi sebagian besar orang mengaprahkannya. Mari tilik Hidden Moon, yang mengisahkan upaya investigasi Victor terhadap Miranda dan berujung cinta segitiga dengan Tobias. Hal yang sama terjadi pada Wuji dan Min Min yang terlibat dalam cinta entah segitiga atau segilima.
Tokoh-tokoh utama dalam kisah itu sungguh diombang-ambingkan oleh aneka kenyataan konkret hidup mereka dan memang akhirnya romantika cinta mereka berujung pada happy ending. Akan tetapi, itu hanyalah penggalan hidup mereka yang sangat terbatas. Kalau dipertimbangkan unsur-unsur lain dalam kisah mereka jelaslah yang mereka dambakan bukan per sé orangnya, melainkan kualitas-kualitas seperti kepercayaan, kejujuran, kredibilitas, kesetiaan, pengorbanan, pengampunan, dan seterusnya. Itulah yang didambakan orang. Melenceng dari situ, romantikanya berakhir tragis dan bolehlah diingat kata penyair rohani: Sia-sialah kamu bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam, dan makan roti yang diperoleh dengan susah payah sebab Ia memberikannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur.
Nah, tidur nongol lagi. Sudah saya singgung beberapa hari lalu bahwa tidur juga bisa jadi tindakan iman: ketika orang memasrahkan hidupnya kepada penyelenggaraan Yang Ilahi, ketika orang tidak terokupasi oleh fokus yang meleset, romantika hidup tak mengganggu kebutuhan istirahatnya. Dalam diri orang beriman seperti ini, apa saja di sekelilingnya dipakai untuk menyatakan komitmennya pada cinta Allah. Bacaan pertama merujuk pada komitmen Allah yang senantiasa berbelas kasih. Bacaan kedua menunjukkan bagaimana orang tak perlu terbelenggu pada ideologi suci bikinan manusia untuk mengalami romantika beriman.
Sakit pendarahan dan kematian, yang mengeksklusi orang dalam mentalitas Yahudi saat itu, dipakai oleh Guru dari Nazareth untuk menunjukkan pentingnya iman dalam romantika hidup: orang beriman tak perlu membelenggu dirinya dengan ideologi suci bikinan manusia. Setiap orang pada akhirnya perlu menguji diri apakah romantika hidupnya sungguh terarah pada komitmen cinta Allah yang berbelas kasih atau malah pada gelojohnya sendiri.
Tuhan, mohon rahmat belas kasih-Mu untuk memenuhi romantika hidup dengan komitmen iman dan cinta kepada-Mu. Amin.
SENIN BIASA XIV A/2
6 Juli 2020
Hos 2,13.14b-15.18-19
Mat 9,18-26
Senin Biasa XIV B/2 2018: Komitmen Hari Gini?
Senin Biasa XIV C/2 2016: Iman Penjamin Mutu
Categories: Daily Reflection