Belajar dari Anak

Guru dan murid tak selalu sama dalam pengambilan sikap terhadap kenyataan hidup yang sama. Wajar saja, karena keduanya punya pengalaman dan perspektif berbeda. Ini tidak berarti bahwa guru selalu lebih baik karena pengalaman dan perspektifnya lebih komplet. Lha wong ya namanya baik atau enggak itu bergantung tolok ukur yang dipakai untuk menilainya kok. Pokoknya, tak perlu dipaksakan bahwa seorang murid harus sama plěk dengan gurunya. Kalau begitu, malah jangan-jangan gurunya gagal mendidik muridnya.

Teks bacaan hari ini cuma tiga ayat dan isinya menunjukkan perbedaan sikap antara guru dan para muridnya terhadap anak-anak. Ini cuma kira-kira lho ya, saya tak tahu pastinya bagaimana. Murid itu biasanya masih sangat normatif dan berpikirnya juga berbau-bau formal gitu. Disuruh pakai masker ya manut, tapi yang ditutupi malah gundulnya. Disuruh datang tepat waktu ya memang tepat waktu, tapi jebulnya belum adus, mumpung pandemi, atau sepatunya untuk kaki kiri semua (lha wong nyawanya belum terkumpul semua).🤭 Pokoknya ya gitu tapi gak gitu juga. Susah, kan?😂

Para murid kiranya akrab dengan hukum kenajisan yang dipraktikkan dalam masyarakat sehingga bisa jadi mereka menegur orang yang mendekatkan anak-anak kepada Guru dari Nazareth karena menganggap mereka ini bisa bikin Guru dari Nazareth najis. Kalau najis, gak bisa tinggal atau masuk kota, mesti di pinggiran kota kèk saya ini (eh, tapi tempat saya termasuk wilayah kotamadya loh, cuma di pinggiran). Maklum, sudah terjadi bahwa Guru dari Nazareth ini disentuh oleh perempuan yang sakit kusta dan akhirnya beliau tak bisa leluasa masuk ke kota untuk mengajar dan menyembuhkan orang sakit. Begitulah perkiraan saya mengenai prasangka yang dipegang oleh para murid.

Seperti sudah saya sampaikan beberapa hari lalu, Guru dari Nazareth ini, menyenangkannya, menjungkirbalikkan sikap para muridnya berkenaan dengan penghayatan norma mereka. Alih-alih mendukung aksi para murid memarahi orang tua anak-anak itu, beliau menegaskan bahwa justru anak-anak, yang mereka anggap berpotensi membuat sang Guru itu najis, adalah mereka yang empunya Kerajaan Allah. Guru dari Nazareth melampaui formalisme norma yang dipraktikkan murid-muridnya. Penjungkirbalikan inilah yang justru membuat Kerajaan Allah bisa diwujudkan. Keberpihakan Guru dari Nazareth kepada mereka yang diposisikan sebagai kaum pinggiran, lemah, tertinggal, memberi perspektif baru dalam relasi antarpribadi dalam hidup sosial.

Saya pernah membaca komentar dalam suatu permainan strategi online yang kiranya menyinggung juga soal ini. Permainan itu memang ditujukan untuk mengumpulkan uang dan beberapa pemain kaya sangat setuju bahwa pemain-pemain kéré tanpa modal sebaiknya diinjak saja dengan peraturan yang semakin menyusahkan mereka untuk bermain secara gratisan. Yang menarik saya ialah ada pemain kaya lainnya yang melihat pentingnya pemain-pemain kéré tadi dan berujar kira-kira “Lu mau main strategi sendirian?”

Guru dari Nazareth berpihak kepada korban dan kaum lemah bukan semata-mata supaya tatanan masyarakat jadi sustainable, melainkan juga karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga. Dari mereka orang dapat belajar kehidupan, sekurang-kurangnya untuk berkaca atau mawas diri bagaimana mewujudkan syukur secara konkret atas kebesaran hidup yang dianugerahkan Allah.
Tuhan, mohon rahmat untuk senantiasa bersyukur atas anugerah-Mu. Amin.


SABTU BIASA XIX A/2
15 Agustus 2020

Yeh 18,1-10.13.30-32
Mat 19,13-15

Sabtu Biasa XIX B/2 2018: Ortu Instan
Sabtu Biasa XIX C/2 2016: Minoritas Oh Minoritas
Sabtu Biasa XIX A/2 2014: Come Back, Please!