Saya baru sadar saat membaca teks bacaan hari ini ada gap antara awal dan akhir. Orang membawa anak-anak kepada Guru dari Nazareth supaya si Guru itu meletakkan tangannya atas mereka dan mendoakan mereka sebagaimana umum terjadi di Israel bahwa orang tua membawa anak-anak kepada tokoh-tokoh agama untuk diberkati dan didoakan. Cuma, pada akhir kisah dikatakan bahwa Guru dari Nazareth itu meletakkan tangan atas mereka lalu berangkat dari situ. Ia mendoakan anak-anak itu atau tidak ya? Kalau mendoakan, kenapa penulisnya tidak menyebutkan begitu? Apakah cukup diandaikan saja bahwa sang Guru mendoakan mereka?
Barangkali memang begitu, tetapi kalau begitu, njuk ngopo? Itu peristiwa lumrah saja bahwa orang dewasa memberkati anak-anak mereka, mendoakan mereka. Entah mendoakan atau tidak, guru dari Nazareth itu berangkat dari tempat ia meletakkan tangan di atas anak-anak. Artinya, ia ada dalam perjalanan, dan memang begitu.
Barangkali pesan yang bisa diambil darinya ialah bahwa dalam perjalanan, sepenting-pentingnya perjalanan itu, orang tetap terbuka pada manusia juga dalam bentuk potensialnya yang kerap kali tak dimasukkan dalam kategori manusia karena belum produktif, berisik, bikin risih, rewel, merepotkan, cari perhatian, dan seterusnya. Dalam perjalanannya membela kemanusiaan universal, Guru dari Nazareth tidak mengabaikan anak-anak, justru karena orang-orang seperti merekalah yang empunya kerajaan Surga.
Lalu saya jadi ingat dan prihatin kalau menilik penilaian ‘orang-orang tua’ terhadap ‘orang-orang muda’ yang menganggap kelompok ini bisanya cuma berhura-hura atau berfoya-foya. Saya tidak mempersoalkan tuduhan ‘orang-orang tua’ itu. Bisa jadi memang tuduhan itu benar, tetapi menurut saya lebih merisaukan lagi ‘orang-orang tua’ yang bersikap seperti murid-murid Guru dari Nazareth itu, yang memarahi orang yang membawa anak-anak kepada guru mereka: apa gak tau bahwa guru ini punya urusan yang lebih penting daripada anak-anak yang tak produktif dan bisanya cuma menghabis-habiskan anggaran?
Pantaslah kalau Guru dari Nazareth itu malah menegur murid-muridnya karena justru anak-anak yang mereka anggap tidak lebih penting itu punya andil dalam kerajaan Surga. Justru ‘orang-orang tua’ yang semestinya berhati-hati dengan tolok ukur yang mereka pakai. Mereka menuduh orang muda berbudaya instan, tetapi mereka sendiri maunya terima orang muda yang produktif, yang baik-baik, yang punya achievement hebat, dan sejenisnya. Apakah itu juga bukannya salah satu bentuk budaya instan, yang tak mau tahu bahwa buah pembinaan mereka baru bisa dinikmati belasan atau puluhan tahun kemudian?
Anak-anak, atau lebih besar sedikit, yaitu orang muda, bukankah mereka itu potensi untuk masa depan? Bukankah masa depan itu hanyalah rajutan masa kini? Kalau anak-anak dan orang muda ini dikecilkan, diremehkan, dianggap memboroskan dan tidak penting, ha njuk gimana masa depan? Memang menyedihkan melihat ‘orang-orang tua’ yang cuma memikirkan zaman nownya sendiri dan tidak melihat bahwa zaman now itu berlaku universal, dari yang mak jebret keluar dari kandungan sampai yang mak nyuk survei liang kubur. Di hadapan Guru dari Nazareth, tak ada yang bisa diremehkan untuk kerajaan Surga.
Tuhan, mohon rahmat untuk menghargai setiap ciptaan-Mu. Amin.
SABTU BIASA XIX B/2
18 Agustus 2018
Yeh 18,1-10.13.30-32
Mat 19,13-15
Sabtu Biasa XIX A/1 2017: Demi Anak
Sabtu Biasa XIX C/2 2016: Minoritas Oh Minoritas
Sabtu Biasa XIX B/1 2015: Gak Ada Anak Haram Kecuali…
Sabtu Biasa XIX A/2 2014: Come Back, Please!
Categories: Daily Reflection