Totalitas

Dalam posting Insan Kamil kemarin saya garis bawahi tolok ukur kesempurnaan manusia: totalitas pencarian, penemuan, dan pelaksanaan kehendak Allah. Totalitas pencarian ini bisa berbeda-beda hasilnya seturut konteks hidup orang. Guru dari Nazareth tidak menuai hasil penebaran benih Kerajaan Allahnya, keburu dibunuh oleh bangsanya sendiri lewat konspirasi tata negara asing. Sekurang-kurangnya, begitulah kata Tacitus, sejarawan Romawi yang konon sangat julid kepada para pengikut Guru dari Nazareth. Entah catatannya benar atau tidak, Guru dari Nazareth tidak mengenyam wujud benih Kerajaan Allah itu dalam struktur ketatanegaraan tertentu. Para pengikutnyalah kemudian yang mengupayakan integrasi benih itu dalam struktur pemerintahan. Akan tetapi, apa pun alasannya, power tends to corrupt, kan?

Nabi Muhammad kiranya memiliki pengalaman yang berbeda dalam pencarian, penemuan, dan pelaksanaan kehendak Allahnya. Beliau menuai hasil penebaran benihnya dalam wujud tata pemerintahan tertentu, yang membuat sepak terjangnya pantas dijuluki sebagai a total way of life. Bukan hanya secara individual kehendak Allah itu diwujudkan, melainkan juga secara sosial dan terstruktur. Meskipun demikian, karena terkait dengan power, tatanan itu akhirnya tak semulus seperti ketika Nabi dan penerus awal beliau masih hidup. Sebagian pengikut beliau yang romantis berusaha mengembalikan tatanan yang baik itu persis seperti pada zaman Nabi, sementara variabel kehidupan terus mengalami transformasi.

Teks bacaan hari ini memberikan gambaran totalitas dalam diri janda miskin yang memberikan zakat atau amalnya sekecil dua peser tetapi memang itulah seluruh kepunyaannya. Lagi-lagi saya mencomot kata-kata Antoine de Saint-Exupéry: the essential is invisible to the eye. Komentar Guru dari Nazareth tidak dimaksudkannya supaya semua orang melakukan persis yang dilakukan janda miskin itu: memberikan dua peser, memberikan seluruh kepunyaannya sebagai persembahan di tempat ibadat. Poinnya bukan bahwa semua orang mesti memberikan seluruh nafkahnya ke tempat suci, melainkan bahwa janda miskin ini menyerahkan hidupnya kepada Allah, Sang Penyelenggara. Sikap itulah yang mengatasi kefanaan hidup, yang membuat tindakan janda miskin itu jadi abadi: she kept nothing for herself!

Asumsinya, tindakan janda miskin itu muncul dari totalitas cintanya kepada Allah. Ini bukan perkara nama baik, perkara memenuhi aturan agama, atau soal berlomba jadi tokoh utama kehidupan, melainkan perkara penyaluran cinta Allah itu. Anda tahu, kan, kalau orang yang merasa kekurangan sesuatu, punya potensi dan tendensi korup untuk sesuatu itu? Bahkan, yang secara objektif duitnya banyak pun masih bisa-bisanya korupsi duit gitu, kan? Begitu pula halnya jika orang memandang dirinya, mungkin tidak sadar, punya defisit cinta Allah, dia bertendensi mewujudkan potensi korup terhadap cinta Allah itu. Ada sesuatu yang ditahan, disimpan, disisihkan, ditunda, untuk cinta dirinya.

Janda miskin ini menjadi representasi undangan bagi orang beriman untuk kept nothing for him/herself demi pengembangan dirinya. Mayoritas orang beragama menghidupi cinta bersyarat dengan aneka macam rasionalisasi tetapi intinya memang kurang total dalam pencarian, penemuan, pelaksanaan kehendak Allah sebagaimana dibuat karakter-karakter yang saya singgung tadi. Anda dan saya mungkin termasuk dalam mayoritas itu. God knows.

Tuhan, mohon rahmat ketulusan hati untuk mencintai-Mu dengan segenap hati dan budi. Amin.


SENIN BIASA XXXIV A/2
23 November 2020

Why 14,1-3.4b-5
Luk 21,1-4

Senin Biasa XXXIV A/1 2018: A Man Called Ahong 
Senin Biasa XXXIV C/2 2016: Perut Penuh, Hati Kosong
Senin Biasa XXXIV A/2 2014: Totality Makes A Difference

1 reply

  1. Just some thoughts, Rm. Mns seringkali salah paham ttg mengapa Tuhan memberkati kita. Pdhl sbnrnya agr kt menjd berkat bg org lain. Itu bs jd salah satu metode Tuhan, seperti pay it forward, shg belas kasih Tuhan terus menjalar, dn menjangkau semua. Seperti Tuhan Yesus yg sdh mengurbankan DiriNya utk keselamatan mns. Supaya dg teladan cinta kasihNya, mns pun pay it forward, saling membantu dn mengasihi. Tp susahnya org2 seringkali malah saling menyerang dn mencuri bahkan membunuh utk mendptkn lbh banyak berkat Tuhan utk diri mereka sendiri. Shg kisah Sang Janda yg memberi dr kekurangannya, bahkan seluruh nafkahnya mempunyai 2 sisi wajah. Sisi umum, yg lebih populer, ttg hati yg taat, sebuah totalitas, pengurbanan. Sisi lain, yg lebih muram dn tdk populer, suatu ilustrasi ketdkadilan, krn berlawanan dg belas kasih Tuhan yg sbnrnya gratis, seperti hujan dn sinar matahari, seperti udara dn alam semesta. Memberikan segalanya ke titik menyakiti diri sendiri bs jd lalu lahir dr budaya manipulatif yg diciptakan. Apakah kt bs mengatakan bhw penghidupan/kehidupan sang janda lbh penting atau tdk lbh penting drpd pujian atas totalitas pengurbanannya (memberikan uang yg dia butuhkn utk bertahan hidup), brgkl menarik utk dipikirkn.

    Liked by 1 person