Ada sebagian orang yang suka mengail di air keruh; sebagian lainnya menciptakan air keruhnya; kalau dua bagian itu kongkalikong, Anda tahu apa akibatnya. Pada kenyataannya, pada masa susah, mesti ada saja orang yang hendak mengambil keuntungan tetapi dengan cara menipu orang lain. Ini bukan barang baru, dan juga bukan cuma produk dalam negeri.
Teks bacaan hari ini, yang bergaya apokaliptik itu, mencerminkan situasi tersebut. Silakan bayangkan ini tulisan dibuat sekitar tahun 80 Masehi, sepuluh tahun setelah Yerusalem diluluhlantakkan oleh kekaisaran Romawi dan para pengikut Guru dari Nazareth mengalami persekusi yang luar biasa. Pada masa seperti itu, banyak yang mengira bahwa kiamat semakin dekat. Kehancuran total bakal terjadi. Eksistensi Allah menjadi sangat meragukan atau Allah memang mandul, tak bisa pegang kendali hidup fana ini.
Dalam konteks itulah tulisan bergaya apokaliptik disodorkan. Maksudnya jelas, supaya orang beriman tak mudah disesatkan oleh pencipta air keruh dan pengailnya. Lalu dijabarkanlah tanda-tanda yang perlu diwaspadai orang-orang beriman itu. Nota bene: tanda-tanda yang disodorkan ini bukanlah ramalan, melainkan kenyataan yang memang sudah terjadi dalam rentang masa penulisan teks bacaan hari ini: perang ada di mana-mana, wabah penyakit, gempa bumi di Asia Kecil kerap terjadi.
Keadaan itu, sebagaimana fenomena yang dinyatakan sebagai pandemi saat ini, menjadi tanda bukan bagi kiamat yang tak inspiratif, melainkan bagi siasat yang mesti solutif. Orang beriman sejati tidak ujug-ujug main hakim sendiri bahwa gempa dan pandemi ini adalah hukuman Allah bagi manusia yang dosanya banyak. Betul dosa manusia banyak, tetapi tak perlulah secara naif menghubungkannya dengan fenomena hukuman Allah. Sebaliknya, orang beriman justru perlu membaca tanda-tanda tadi sebagai harapan untuk menguak proyek keselamatan Allah dan dengan itu orang bisa mengambil peran atau kontribusi tertentu. Kalau tidak begitu, orang beragama jadi bulan-bulanan pencipta kekeruhan dan pengailnya. Kalau jadi bulan-bulanan begitu, hidup keagamaannya pantas dipertanyakan karena malah menambah kekeruhan, alih-alih memberi harapan akan kedamaian.
Kalau begitu, teks apokaliptik hari ini juga semestinya dibaca dalam bingkai harapan: bukan harapan untuk bisa menambah keruh atau mengambil keuntungan dari kekeruhan, melainkan harapan untuk menjernihkan yang keruh. Tentu Anda tak perlu menyemprotkan kaporit dengan kendaraan water canon supaya situasi keruh di luar jadi jernih atau menenggak kaporit supaya situasi keruh di dalam jadi terurai. Orang beriman butuh waktu pengendapan, seberapa pun banyaknya bisnis yang dijalankannya. Orang beriman butuh ruang dan waktu untuk memandang hidup secara jernih: membiarkan yang fana bergerak dalam kefanaannya, memegang teguh kenyataan kekal yang membuat orang bisa mengalami kemerdekaan batin.
Sayangnya, bisa jadi orang sedemikian royal menginvestasikan waktunya untuk kefanaan, tetapi kikir untuk memberi waktu bagi pencecapan keabadian dalam hidupnya. Bisa jadi bisnis orang begitu produktif, tetapi mungkin produksinya malah dipakai untuk kepentingan konsumtif cinta dirinya (yang beberapa kali saya singgung sebagai do ut des). Ini menambah keruh, alih-alih menjernihkan hidupnya yang jelas-jelas adalah karunia Allah sendiri.
Ya Allah, mohon rahmat supaya harapan kami senantiasa tumbuh beriringan dengan iman dan cinta kami pada-Mu. Amin.
SELASA BIASA XXXIV A/2
Pw S. Andreas Dūng-Lac
24 November 2020
Selasa Biasa XXXIV B/2 2018: Perlu Belajar dari Monyet?
Selasa Biasa XXXVI C/2 2016: Penggusur Bait Allah
Selasa Biasa XXXIV A/2 2014: Iman Doraemon
Categories: Daily Reflection
noted, Romo, makasih
LikeLike