Saktinya Melahirkan

Anda yang pernah melahirkan bayi tentu tahu bagaimana susah dan sakitnya. Saya cuma bisa tahu tanpa pernah mengalaminya. Untungnya, tidak semua pengetahuan diperoleh lewat pengalaman sendiri sih. Sebagian pengetahuan diperoleh lewat kepercayaan terhadap pengalaman orang lain. Contohnya ialah pengetahuan tentang bumi bulat. Anda tidak perlu repot mengukur tinggi gunung untuk menghitung lingkaran bumi seperti dilakukan Abū Rayḥān Al-Bīrūnī sepuluh abad lalu atau menyewa pesawat untuk mengitari bumi dan menghitung lingkaran bumi. Cukup percaya saja pada apa yang dilakukan orang lain dan Anda memperoleh pengetahuan itu. Saya percaya bahwa melahirkan bayi itu tidak segampang orang berjongkok atau duduk di toilet. Butuh perjuangan dan bisa jadi sakitnya membuat seorang ibu berada di ambang kematian.

Gambaran ibu melahirkan itu bisa dipakai untuk memahami pesan teks lanjutan bacaan kemarin. Kalau kemarin sudah disodorkan lima tanda-tanda zaman (nabi/mesias palsu, perang dan revolusi, pertentangan antarbangsa atau antarkerajaan, kelaparan dan pandemi), hari ini ditambahkan satu tanda lagi: persekusi. Nah, enam tanda-tanda zaman itu, dalam teks lain (Mrk 13,8) disebut sebagai barulah permulaan “penderitaan menjelang zaman baru”. Mungkin benar begitulah terjemahannya, tetapi “penderitaan menjelang zaman baru” itu gak jelas apa maksudnya. Dari zaman jebot sampai sekarang ya Timur Tengah belum kelar juga dengan pertikaian dan peperangan; mana “zaman baru”-nya?

Setelah saya lihat teks aslinya, ternyata ada makna lain ὠδίνων (ōdinōn, Yunani), yaitu birth pain. Lha ini malah klop untuk membingkai tanda-tanda zaman yang gambarannya mengerikan tadi, termasuk pandemi. Bayangkan, meskipun bisa jadi seorang ibu begitu menderita saat proses melahirkan anak, bahkan antara hidup dan mati, penderitaan itu sama sekali bukan tanda kematian, melainkan tanda kehidupan. Maka, sakit melahirkan bukan alasan untuk takut, melainkan momen untuk mengharapkan zaman baru. Nah, ini biar terjemahannya gak salah-salah amat🤭, tapi inspirasinya memang terkait dengan harapan akan hidup baru.

Cara membaca kenyataan hidup seperti ini, beserta ketekunan orang dalam kesusahan dan penderitaan, bisa jadi memberi kesan perseverance atau endurance yang luar biasa. Ibu yang semula sakit malah menunjukkan dirinya sakti. Akan tetapi, keteguhan atau ketahanan seperti ini tidak otomatis menjadi keutamaan yang baik karena kuncinya tidak terletak pada tahan menderitanya [lha nek kuwi wae wong masokhis ya malah seneng cari penyakit]. Kuncinya ada pada hidup baru yang pantas diharapkan dan diwujudkan. Maka dari itu, pandemi, dengan segala keribetannya, sewajarnya merangsang orang beriman untuk menatap hidup baru, bukan malah bertahan dengan (cara) hidup lama alias bebal.

Jika menangkap tanda-tanda zaman macam begini, orang beriman tak akan kehilangan keyakinan bahwa yang penting dalam hidupnya ialah berjibaku bersama Allah, karena Allah tidak tinggal diam. Sukses gagal hanyalah konsekuensi jibaku bersama Allah. Kalau orang gagal, Allah ya tetap bersamanya, kalau berhasil, Dia pula tetap Allah yang bersamanya. Sayangnya, orang bisa memupuk paham sesat bahwa berjuang bersama Allah pasti berhasil, tetapi hasilnya dinilai dengan tolok ukur hitungan utak-atik-otak belaka.
Ya Allah, mohon rahmat kejernihan hati dan budi untuk melihat tanda-tanda kehidupan juga dari aneka kesulitan dan penderitaan. Amin
.


RABU BIASA XXXIV A/2
25 November 2020

Why 15,1-4
Luk 21,12-19

Rabu Biasa XXXIV B/2 2018: Agama Penjajah 
Rabu Biasa XXXIV C/2 2016: Sabaran Kuda
Rabu Biasa XXXIV A/2 2014: Sabar, Brow!