Kontroversi mengenai otoritas dalam teks bacaan kemarin tak terselesaikan dengan jawaban afirmatif baik dari para pemuka agama maupun dari Guru dari Nazareth. Para pemuka tak mau menjawab karena jawaban apa pun yang mereka berikan membahayakan kekuasaan religius mereka. Guru dari Nazareth tak memberikan jawaban karena jawaban apa pun yang dia berikan tak akan membuat para pemuka agama itu paham. Perhatian mereka hanya ada dalam matra kekuasaan, dan mereka tak mengerti komponen otoritas itu datangnya dari mana. Akan tetapi, sebetulnya Guru dari Nazareth menjawab persoalan yang mereka sodorkan lewat perumpamaan.
Teks bacaan hari ini menampilkan perumpamaan pertama. Dua anak diminta ayahnya bekerja. Anak pertama mengatakan “Ashiaaaaap!” tapi tak berangkat kerja. Anak kedua menjawab,”Gak mau!” tetapi kemudian menyesal, dan pergi bekerja. Pertanyaannya sederhana: mana dari keduanya yang melaksanakan kehendak ayahnya. Jelas kan jawabannya? Anak yang kedua. Akan tetapi, apa hubungannya dengan otoritas? Apa hubungannya dengan pertanyaan Guru dari Nazareth mengenai dari mana datangnya otoritas Yohanes Pembaptis, atau otoritas religius lainnya?
Hubungannya ada pada komponen otoritas itu: pelaksanaan kehendak Allah. Hambok mau berapa kali beribadat sehari, daring atau luring, mau berpakaian agama lapis berapa, memelihara janggut, rambut panjang atau gundul, berpakaian minim atau lebay, semuanya tiada arti tanpa pelaksanaan kehendak Allah. Otoritas religius tidak datang dari ketaatan formal yang mandul: seperti pohon buah-buahan yang rimbun daunnya tapi tak pernah menghasilkan buah. Pohonnya formalitas doang punya nama pohon mangga tapi buah mangganya tempelan dari toko swalayan! Pohon macam ini kehilangan identitas, kehilangan substansinya.
Maka dari itu, bisa dimengerti mengapa para pemuka agama tak mau menjawab pertanyaan tentang otoritas religius Yohanes Pembaptis atau Guru dari Nazareth. Mereka sendiri tak punya komponen otoritas selain jawaban formal yang benar, “ya” terhadap kehendak Allah, tetapi yang mereka cari adalah pembenaran diri sendiri. Mereka membeli label religius yang ditunggangi demi kepentingan kuasa mereka sendiri. Itulah hal yang mengerikan dari politik identitas keagamaan, yang berseliweran di negeri ini. Yang dikumandangkan tentu kepentingan bangsa, tetapi bisa jadi yang didendangkan adalah kepentingan agama. Keadilan sosial diseru-serukan, tetapi yang disasar adalah kepentingan sektarian.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan-Mu supaya kami mampu semata menyatakan kehendak-Mu yang terus kami cari bersama yang lain. Amin.
HARI SELASA ADVEN III
15 Desember 2020
Posting 2016: Putus Saja
Posting 2015: Jamu Jarak
Posting 2014: Orang Beriman Gak Kebal
Categories: Daily Reflection