Self-fulfilling Prophecy

Anda pasti pernah membaca istilah “ramalan swawujud” sekurang-kurangnya satu kali. Itu adalah terjemahan dari frase bahasa Inggris: self-fulfilling prophecy, istilah teknis psikososial untuk menunjukkan bagaimana suatu prediksi menjadi kenyataan karena orang yang memprediksinya punya keyakinan dan pilihan tindakannya disesuaikan dengan keyakinan itu. Aplikasi teori ini kiranya kerap Anda jumpai pada motivator yang menyerukan “kamu bisa!” demi menumbuhkan keyakinan orang akan hal tertentu. Asumsinya, keyakinan ini memengaruhi orang untuk mengusahakan aneka cara sampai tujuannya tercapai.

Sayangnya, selain wilayah gelap seturut Jendela Johari, manusia punya karakter unpredictable juga, sehingga teori ramalan swawujud tadi bisa mrucut. Saya ingat bagaimana teman-teman menyemangati saya untuk menuntaskan pertandingan dengan teriakan “ayo kamu bisa” itu dan saya pun meyakinkan diri bahwa saya bisa. Akan tetapi, apa daya, kaki saya tiba-tiba terasa seperti jadi kaki Hulk, sangat berat, hal yang tak diketahui teman-teman (karena kaki saya tak berubah jadi ijo). Akhirnya memang saya tak menyelesaikan pertandingan itu dengan kemenangan. 

Meskipun demikian, konsep ramalan swawujud itu bisa dipakai untuk mengerti bagaimana orang beragama sebaiknya beriman, juga dengan mencermati teks bacaan hari ini. Sebagian insightnya sudah saya singgung dalam posting Mbok Jangan Keras2. Kali ini saya hendak melihat perbedaan kesadaran waktu antara Yohanes Pembaptis dan Guru dari Nazareth. Pertanyaan yang dititipkannya kepada para muridnya ialah apakah Guru dari Nazareth itu adalah “dia [Mesias] yang akan datang itu” atau mereka mesti menantikan orang lain lagi.

Memang, menanti atau menunggu itu senantiasa membutuhkan objek yang belum ada atau belum datang. Acuan Yohanes Pembaptis dan murid-muridnya ialah masa depan. Akan tetapi, jawaban yang mereka terima bukan perkara masa depan, melainkan perkara masa kini. Jawabannya bukan di tempat lain, melainkan di sini: yang buta melihat, yang lumpuh berjalan, dan seterusnya. Dengan demikian, orang beragama tak perlu berlebihan menatap masa depan, tetapi sebaiknya menata hidupnya sekarang dan di sini (seturut orientasi ke depan).

Kembali ke istilah teknis ramalan swawujud tadi, alih-alih terus berkutat pada rumusan isi ramalannya, orang beriman malah sebaiknya berfokus pada cara hidupnya sedemikian rupa sehingga isi ramalan yang baik itu terwujud pada waktunya. Sekarang dan di sini, isi ramalan itu sudah tercicil jika cara hidup orang sesuai dengan visi ramalan itu: manusia yang merdeka, bahagia, damai, dan seterusnya. Kerajaan Allah, persaudaraan islami, tidak terwujud kalau tidak sekarang dan di sini diterjemahkan dalam hidup bersama. Orang beriman memerlukan mindfulness juga.

Tuhan, mohon rahmat cinta-Mu untuk mewujudkan visi hidup bersama seturut kehendak-Mu. Amin.


HARI RABU ADVEN III
16 Desember 2020

Yes 45,6b-8.18.21b-25
Luk 7,19-23

Posting 2016: Anjing Gak Liat Kelinci
Posting 2015: Kau Tercipta untuk’Ku