Agama itu seperti teologi, yang digambarkan sebagai saudaranya filsafat; kalau filsafat terus menerus mencari tiada henti bagaikan orang dalam kegelapan mencari kucing dalam karung, teologi melakukan hal yang sama tetapi orangnya lalu berteriak,”Aku dapat kucingnya nih!” Kucing itu mengeong, tetapi tiada yang tahu itu suara kucing atau suara penemunya. Pada dasarnya, hati manusia bagaikan mesin pencari juga, yang tak kunjung berakhir sampai menemukan pelabuhan yang tepat. Pencarian itu sendiri adalah sisi lain dari keping penantian. Selalu persoalannya ialah mana pelabuhan yang tepat itu.
Teks bacaan hari ini adalah kelanjutan dari kisah kecil tentang Yohanes Pembaptis yang menyuruh murid-muridnya mencari tahu apakah Guru dari Nazareth adalah sosok Mesias, pelabuhan yang tepat, yang mereka nanti-nantikan. Itu artinya, Yohanes sendiri punya keraguan mengenai Guru dari Nazareth sebagai Mesias yang mereka tunggu-tunggu. Keraguan ini masuk akal dan malah pantas dipersoalkan sebagai kritik terhadap gagasan Yohanes sendiri mengenai Mesias. Kenapa?
Yohanes ini punya gambaran Mesias yang mengerikan: hakim yang murka terhadap orang-orang korup (Mat 3:7), yang siap dengan kapak untuk menebang pohon mandul (Mat 3:10) atau alat pengumpul gandum dan pembuang debu jerami ke api abadi (Mat 3:12). Ini benar-benar tidak cocok dengan kemesiasan yang dihidupi oleh Guru dari Nazareth. Jawaban atas keraguan Yohanes itu sebetulnya menohok sekali,”Hambokya dilihat saja, orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, dan seterusnya.” (Mat 11:5) Itu bukan kerjaan hakim yang murka dong, melainkan teman bagi semua, makan dengan semua, tak mendiskriminasi pendosa sama sekali. Ini sosok Mesias yang lemah lembut dan rendah hati (Mat 11:29).
Tak mengherankan bahwa Guru dari Nazareth ini mengapresiasi Yohanes sebagai orang besar dalam sejarah, lebih joss daripada Musa dan seterusnya. Ada tapinya, yaitu bahwa ia memegang konsep yang meleset mengenai Kerajaan Allah yang diintroduksi oleh sosok Mesias yang ditunjuk oleh Yohanes dengan keraguannya itu. Maka dari itu, sebesar-besarnya Yohanes Pembaptis ini, dia dipandang tidak lebih joss bahkan daripada orang kecil yang menangkap Kerajaan Allah yang diintroduksi Guru dari Nazareth itu.
Dari dirinya sendiri, Yohanes tidak menangkap Kerajaan Allah yang dipromosikan Guru dari Nazareth. Ia tidak menangkap kebaruan dalam nubuat nabi-nabi sebelumnya. Bisa jadi, karena Yohanes tidak menangkap kata kunci yang diajarkan Guru dari Nazareth kepada para muridnya dalam doa Bapa Kami: Allah menjadi bapa bagi semua, dan itu berarti semua bersaudara, tanpa ribet dengan label bahkan dosa sekalipun. Kerajaan Allah ini bukan suatu doktrin, melainkan cara hidup baru sebagai saudara karena Allah YME itu. Kekerasan membuyarkan Kerajaan seperti itu.
Tuhan, mohon rahmat supaya pencarian hidup kami dijauhkan dari aneka bentuk kekerasan. Amin.
KAMIS ADVEN II
10 Desember 2020
Posting 2018: Butuh Piala Citra?
Posting 2017: Anda Sehat?
Posting 2015: Kejahatan Yang Mulia?
Posting 2014: Keras ke Dalam, Lembut ke Luar
Categories: Daily Reflection