Tangan Najong

Ini kali kedua para pemuka agama dari Yerusalem turun gunung karena mendengar bagaimana Guru dari Nazareth dan murid-muridnya mengabaikan kebiasaan tradisi Yahudi. Dulu mereka juga turun dari Yerusalem untuk mengawasi gerak kelompok baru yang mulai membesar ini. Tuduhan mereka, Guru dari Nazareth ini punya kuasa macam-macam karena bersekongkol dengan Beelzebul (Mrk 3:22). Nota bene: Beelzebul adalah dewa bangsa Filistin yang passionnya ialah merawat mereka yang sakit.

Dengan tuduhan itu, para pemuka agama Yahudi hendak meyakinkan rakyat jelata bahwa kelompok baru itu menyesatkan mereka karena berlindung pada dewa bangsa kafir. Maka, sudah selayaknya mereka kembali pada tradisi yang mereka pegang secara turun temurun, yang dilestarikan oleh para pemuka agama itu. Salah satu hal yang merisaukan mereka ialah bahwa sebagian murid Guru dari Nazareth ini mengabaikan tradisi pembersihan tangan sebelum makan. Nota bene: ini bukan perkara ilmu kesehatan, melainkan perkara obsesi terhadap tradisi. Orang yang baru saja mandi pun tetap harus mencuci tangan. Itu juga bukan sekadar buka kran dan mencuci tangan, melainkan juga ada peranti dan cara khusus untuk mencuci tangannya. Kalau salah satu langkah tak terpenuhi, orang harus mengulanginya dari awal!

Sebetulnya ide mencuci tangan sebelum makan itu sendiri baik, selain demi kesehatan, orang hendak menerima makanan sebagai anugerah Tuhan, yang mesti diterima dengan tangan dan sikap suci. Akan tetapi, obsesi pada ritual malah menghilangkan esensi kesucian itu sendiri karena ritualnya jadi lebih utama daripada sikap batin terhadap Sang Khalik. Alhasil, kenajisan tangan, oleh para pemuka agama Yahudi itu dilekatkan pada ada tidaknya ritual pembersihan tangan itu.

Tangan, dalam Kitab Suci, diasosiasikan dengan kerja manusia. Para pemuka agama itu rupanya memahami kesucian sebagai prosedur untuk menyingkiri atau menyingkirkan dunia yang dinajiskan: mayat, orang kusta, darah, binatang, dan seterusnya. Guru dari Nazareth sebaliknya: kesucian kerja manusia tidak terletak pada tangan yang dibasuh bersih, terbebaskan, tercabut dari dunia najis tadi, tetapi tangan yang didedikasikan untuk membangun, menyembuhkan, menguatkan, terlibat dalam karya penciptaan Allah.

Saya senang melihat tulisan di kampung yang saya lalui: sakit akibat covid bukan aib, mari dukung dan bantu mereka yang terpapar virus. Tangan orang beriman tidak dimaksudkan untuk menyingkirkan orang sakit, tetapi untuk membantunya supaya sehat lahir batin. Tangan orang beriman tidak obsesif terhadap protokol kesehatan, tetapi juga tidak mengabaikan esensi protokol itu. Tangan orang beriman, bak tangan Tuhan, memberi kehidupan.

Tuhan, mohon rahmat supaya doa dan kerja kami tidak jatuh pada ritualisme. Amin.


SELASA BIASA V B/1
9
Februari 2021

Kej 1,20-2,4a
Mrk 7,1-13

Posting 2019: Nonton Misa
Posting 2017: Masih Salam Dua Jari?

Posting 2015: Citra Skolastika