Lanjutan perseteruan kemarin. Guru dari Nazareth benar-benar tak ingin orang tertipu oleh aktor religius dengan posisi pemuka agama. Ingat kan kemarin Sang Guru menyitir nubuat Nabi Yesaya tentang mereka ini sebagai orang-orang munafik? Kata munafik ini adalah terjemahan dari ὑποκριτῶν (hypokriton, Yunani) yang arti literalnya adalah aktor, atau pemain drama atau teater (mungkin saja bermain dengan menggunakan topeng). Sebetulnya tak bermakna peyoratif ya, tetapi tampaknya kemudian jadi jelek karena pada kesempatan lain Guru dari Nazareth ini memakai alegori lain: kuburan yang dilabur putih (Mat 23:27)! Bait Allah, Yerusalem pun jadi teater para aktor religius itu untuk bermain drama.
Mereka mengejar kesucian dengan menyingkirkan hal yang mereka anggap kotor seturut kebiasaan ciptaan mereka sendiri: yang dibasuh tangan, bukan hatinya. Maka, tangan najis adalah perkara tangan tanpa ritual pembasuhan, bukan soal tangan yang jadi perpanjangan kultur kematian. Guru dari Nazareth tak berkompromi: jika tak menangkap hal ini, orang tak melihat yang esensial dalam hidup mereka. Maka sekarang beliau meminta semua saja, termasuk Anda dan saya, untuk mencamkan baik-baik pesannya: yang menajiskan orang tidak datang dari luar, tetapi dari dalam hati orang.
Guru dari Nazareth konon menyebutkan daftar dua belas output hati orang yang menajiskan dirinya. Tak usah ambil pusing dengan jumlah dua belas; ini angka relatif, yang terkait dengan kultur hidup zaman beliau dulu. Yang penting dilihat ialah bahwa dari dua belas itu, tak satu pun membawa-bawa nama Allah. Seseorang disebut najis karena ketidakmurnian hatinya membahayakan hidup kemanusiaan. Yang disebut pertama adalah prostitusi, dan mungkin kata ini segera terasosiasikan dengan PSK, entah legal atau ilegal, daring atau luring. Jelaslah asosiasi itu terlalu sempit karena jual diri, komersialisasi pribadi orang bisa terjadi lewat jalur selain kelamin. Prostitusi berarti segala cara melacurkan diri demi aneka kepentingan: karir, jabatan, privilese, pengakuan, promosi, popularitas, dan sebagainya.
Begitu seterusnya dengan kesebelas kenajisan lain, bersifat jamak. Maka, orang beriman perlu menangkap esensi pikiran-pikiran jahat itu dan membasuh hatinya supaya pikiran itu tak menjauhkan hatinya dari Allah. Barangkali jika dirangkum, kesemua pikiran jahat itu bermuara pada penggelembungan diri sendiri, akumulasi kepentingan diri, hendak memiliki, menguasai, menundukkan, mengalahkan semuanya untuk diri sendiri. Begitulah pikiran najis, mengira bahwa kebahagiaan adalah perkara menerima bagi diri sendiri, alih-alih memberikan diri; menganggap bahwa cinta adalah pemenuhan diri, alih-alih pembaktian diri.
Tuhan, mohon kejernihan hati dan budi supaya hidup kami tak dipenuhi kenajisan. Amin.
RABU BIASA V B/1
Pw S. Skolastika
10 Februari 2021
Posting 2019: Kepada Calon Manten
Posting 2017: Bapernikus
Posting 2015: Apa Yang Mencolot dari Hatimu?
Categories: Daily Reflection