Berubah

Adakah hal yang bisa kita petik dari kefanaan selain pengertian akan sifat kesementaraan atau sifat kontingennya? Mungkin konsekuensi dari sifat kesementaraan itu ya: peziarah kehidupan tidak bisa tidak terbuka pada perubahan. Sayangnya, karena sebagian peziarah itu terburu-buru merasa diri sudah menemukan Kebenaran, Kesejatian, Kebahagiaan, Tuhan, Agama, ruang untuk perubahan itu semakin sempit.

Ini digambarkan oleh Anthony de Mello dengan anekdot Nasrudin Hoja, yang saya tak ingat lagi di mana saya membacanya, yang senantiasa memetik satu senar gitar untuk mengiringi nyanyiannya. Mereka yang mendengarnya tentu jenuh, dan yang punya kepekaan musikal risih. Akan tetapi, ketika ditanya mengapa selalu memainkan satu not saja, Nasrudin menjawab begini,”Mereka yang bermain musik terus saja mencari-cari not yang benar. Aku sudah menemukannya.” Tak sulit bagi Nasrudin untuk mengajarkan musiknya kepada orang lain atau mengorganisasi konser amal dengan not tunggalnya, tetapi mungkin yang menonton dan mendengarkannya cuma jin dan tuyul.

Teks bacaan hari ini secara implisit menggambarkan bagaimana Guru dari Nazareth mengubah idenya, konsekuen dengan apa yang diajarkannya sendiri. Anda ingat bagaimana perseteruannya dengan ahli Kitab Suci dan orang Farisi, yang diumpamakannya sebagai aktor religius dalam drama kudus bikinan mereka sendiri. Sang Guru menutup wacananya dengan keterangan lugas bahwa yang menajiskan hidup orang adalah niat dalam hati yang berujung pada pemuliaan diri dengan mengobjekkan sesama, merampas kemerdekaan, melucuti kemanusiaannya.

Karena setia pada norma agamanya, Guru dari Nazareth menolak permintaan perempuan dari wilayah bangsa kafir. Kata beliau, tak pantaslah memberikan roti untuk anak-anak kepada anjing. Terdengar kasar memang, tetapi bisa dimengerti bagaimana dalam hidup keluarga tertentu bahkan anjing itu dihitung sebagai anggota keluarga. Konon sebutan anjing bagi lawan atau musuh itu sudah jamak juga (Bdk. kisah Daud dan Goliat pada 1Sam 17:43). Guru dari Nazareth pun mengumpamakan perempuan itu sebagai anjing karena dia bukan bilangan bangsa Israel.

Akan tetapi, poinnya bukan anjing, melainkan Guru dari Nazareth ini punya keyakinan kuat bahwa ia datang ke dunia hanya untuk menyelamatkan orang-orang Israel yang tersesat (Mat 15:24). Bagi Sang Guru, perempuan Siro-Fenisia itu adalah bagian dari none of my business! Akan tetapi, perempuan itu memanfaatkan metafora Sang Guru dan menerima identifikasi dirinya sebagai anjing: bukankah anjing juga boleh makan remah-remahnya? Nah, kasihlah remah-remahnya karena aku berhak atas remah-remah itu! Guru dari Nazareth berubah pikiran, lebih terbuka pada siapa pun yang sungguh hendak mencari keselamatan jiwa.

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk mengetahui mana yang harus kami ubah dalam hidup kami. Amin.


KAMIS BIASA V B/1
Hari Orang Sakit Sedunia
11 Februari 2021

Kej 2,18-25
Mrk 7,24-30

Posting 2019: Selamat Hari Tetot 
Posting 2017: Markiza Hueks

Posting 2015: Tuhan Itu Orangnya Pendiam