Pernahkah Anda bertanya-tanya di mana batas antara kehidupan dan kematian? Kalau pernah, jawaban apakah yang Anda peroleh? Kuburan? Ruang ICCU? TKP kecelakaan lalu lintas? Panti jompo? Segitiga Bermuda?
Kalau jawaban itu semua benar, artinya, batas hidup-mati itu bisa di segala ruang, dan dengan demikian, di segala waktu. Kalau begitu, berarti malah gak ada batasnya ya?🤔🙄🥱 [Embohlah Rom]
Kalau Anda pernah menanyakan hal itu, mungkin Anda memang sedang kurang kerjaan; tapi kalau begitu, mungkin Anda sudah cukup kaya, tak butuh kerjaan lagi.😂
Beberapa abad sebelum Guru dari Nazareth itu nongol, barangkali cuma orang Mesir yang punya keyakinan bahwa hidup ini tak berkesudahan, berkelanjutan, meskipun berbeda dari yang sudah-sudah. Orang Yahudi, sebagaimana banyak orang lainnya, memahami kematian sebagai takdir bagi semua orang: sehebat-hebatnya orang, kelak tujuan akhirnya ya nyemplung ke lubang gelap yang kita sebut kuburan, yang oleh orang zaman jebot dimengerti sebagai dunia bawah (maklum, kan dulu dunia ini dipandang datar), dunia orang mati, dengan segala sebutannya (inferus, sheol, άδης/ades). Ke situlah orang berkumpul dengan para leluhurnya.
Bedanya, dalam konsepsi kaum pagan, di dunia bawah tanah itu ada misalnya Dewa Pluto yang memerintah dunia orang mati. Di Mesir, Dewa Ra alias Dewa Matahari, dipercaya setelah seharian menyinari dunia, njuk mulai senja akan menyinari dunia orang mati tadi. Dalam pengertian orang Yahudi, Allah tidak campur tangan dengan dunia orang mati itu karena Allah orang Israel adalah Allah orang hidup. Yang mati ya tak ada lagi Allahnya.
Kurang lebih pada abad terakhir sebelum Guru dari Nazareth hidup, ada perubahan konsepsi mengenai kematian. Orang Yunani misalnya, mulai berfilsafat mengenai distingsi antara dunia material dan nonmaterial. Artinya, yang material akan selesai, yang nonmaterial bersifat abadi. Sebagian orang Yahudi meyakini adanya kebangkitan dari dunia sheol tadi, meskipun pandangan ini lalu terbagi-bagi seturut kepentingan ideologis pemegangnya: yang bangkit ya cuma yang baik-baik, yang jahat tetaplah di dunia orang mati. Akan tetapi, keyakinan ini, seperti keyakinan orang Yunani tadi, sepertinya juga kurang meyakinkan. Ngapain Allah itu bikin mati orang ke kuburan njuk nanti balik lagi menghidupkannya dengan body seperti semula? Kurang kerjaan bener ini Tuhannya! Tapi begitulah orang Farisi meyakininya. Celakanya, keyakinan terakhir inilah yang tampaknya dipegang sampai sekarang, bahkan oleh sebagian (besar) orang Kristen, mungkin termasuk Anda. Dengan keyakinan ini, jelaslah batas hidup-mati itu kuburan.
Tak mengherankan, bahkan sains pun ada yang keblinger untuk mengalahkan kematian dengan cara membekukan organ, membuat kloning, dan seterusnya. Bukankah itu cuma penundaan orang tiba di kuburan? Kodrat manusia ya mati, gitu aja kan?
Pesan Paska bukanlah soal menunda kematian, melainkan mengalahkan kematian. Balik lagi ke posting Don’t Worry, Be Happy (Easter)!, mengalahkan kematian itu mengandaikan orang mengenal dunia ketiga: dunia persekutuan dengan Allah. Tentu, sama sekali bukan bahwa asal orang meneriakkan nama Allah lantas ia bersekutu dengan Allah. Rumit menentukannya, serumit menentukan batas hidup-mati, karena orang toh bisa jadi walking dead, dengan segala seragam dan modusnya, dengan segala kata dan tingkah baiknya.
Tuhan, mohon rahmat kebangkitan-Mu supaya kami setia membela nilai-nilai kehidupan. Amin.
MALAM PASKA C
16 April 2022
Kej 1,1.26-31a
Kej 22,1-18
Kel 14,15-15,1
Yes 54,5-14
Yes 55,1-11
Bar 3,9-15.32-4,4
Yeh 36,16-17a.18-28
Rm 6,3-11
Luk 24,1-12
Posting 2019: Paska Itu Apa?
Posting 2016: Malam Paska: Salah Alamat?
Categories: Daily Reflection