Aku Bukan Yesus

Dua tahun lalu, dalam posting Membajak Agama, saya kutipkan dialog bajak laut dan Kaisar Alexander Agung yang berujung pada pengakuan Sang Kaisar bahwa sulitlah mengubah hidupnya karena ia tidak sendirian (dalam melakukan hal yang kemudian disebut oleh bajak laut itu sebagai kejahatan, sama seperti yang dilakukan Sang Bajak Laut). Betul, konspirasi tidak pernah sendirian, mesti melibatkan orang lain. Itu mengapa korupsi di negeri ini sulit diberantas, antara lain karena mereka yang terlibat dalam konspirasi itu akhirnya bungkam, bersembunyi di balik nasihat rohani mengenai keikhlasan dan tak punya dendam. Inilah yang saya kenal sebagai moralitas nol! Tidak jahat, tetapi juga tidak mengusahakan yang baik.

Saya menyimak sebuah tayangan wawancara dengan mantan napi korupsi yang baru bebas dari hukumannya dan saya suka dengan kalimat yang disodorkannya: I’m not Jesus. Tentu saja, natürlich mesti waé certaménté. Itu mengapa setelah sekian lama dipenjara baru sadar bahwa harta dan kekuasaan itu fatamorgana [Yesus sepertinya hanya butuh tiga puluh hari (jauh hari sebelum diadili) untuk meyakini bahwa harta dan kekuasaan itu adalah representasi godaan yang bisa menjerumuskannya dari misi hidupnya]. Akan tetapi, mohon maaf, saya tidak bermaksud menghakimi mantan napi koruptor ini.

Saya ingin mengundang Anda menarik satu dua hal dari wawancara beliau. Yang pertama adalah kelanjutan dari kalimat I’m not Jesus yang sudah cetha wela-wela itu. Maksud saya, ya itu bukan perkaranya; saya juga tak hendak memperkarakan komparasi dirinya dengan Yesus (apa ya Yesus itu [koruptor yang] dikorbankan sendirian). Persoalannya, kalau bukan Yesus, njuk kamu itu siapa? Dari wawancara itu malah saya menengarai ada sosok Pilatus di situ: apa ada di dunia ini yang namanya kebenaran, keadilan, ketulusan, dan sejenisnya?

Yang kedua, mengapa orang jadi skeptis pada kebenaran: karena perspektif pertobatannya cuma berputar-putar pada soal kapok dan tidak keluar menuju suatu keterlibatan. Akibatnya, ya sudah; pokoknya hidup ini safe, bahagia toh sederhana, cukup dengan dua roti dan pakaian di lemari. Anda dan saya bisa memelihara nasihat-nasihat super seperti ini dan mengikuti semesta yang menyorongkan kita masuk dalam dunia fana sebelum kembali ke alam baka, tanpa berbuat apa-apa untuk kehidupan yang lebih luas. Tentu saja, ini bukan perkara bahwa Anda dan saya mesti terjun ke arena politik praktis. Akan tetapi, hidup beriman itu mesti punya konsekuensi politis. Itulah yang ditunjukkan Yesus yang hari ini menanggung konsekuensi politis itu.

Ini bukan perkara yang mudah dimengerti. Sebagaimana saya terima ucapan tetangga sebelah dengan senyum sumringah toleransi bagi saya untuk merayakan Jumat Suci; dan saya menerimanya dengan penuh pemahaman. Tidak ada orang yang dilarang tertawa pada hari Jumat Suci atau Jumat Agung, tetapi Jumat itu kehilangan kesuciannya ketika tawanya tidak muncul dari pengertian bagaimana konsekuensi politis iman itu mesti dipikul. Sebagian menyesuaikan pikulannya sehingga imannya tipis-tipis. Sebagian lagi membuang pikulannya sehingga lenyaplah imannya dan cukup hidup aman tentram damai untuk dirinya sendiri. Maklum, bukankah “Aku bukan Yesus”?

Tuhan, mohon rahmat keberanian dan kekuatan untuk membela kemanusiaan-Mu. Amin. 


HARI JUMAT SUCI
15 April 2022

Yes 52,13-53,12
Ibr 4,14-16;5,7-9
Yoh 18,1-19,42

Posting 2020: Membajak Agama
Posting 2019: Dua Presiden

Posting 2018: Tuhan Hanya Butuh Dilan

Posting 2017: Kingdom of Conscience

Posting 2016: Jumat Suci: Keheningan Cinta

Posting 2015: A Faith that Never Dies

Posting 2014: Good Friday: The Turning Point