Mungkin Anda pernah mendengar firman berikut: “Apa saja harta yang diberikan Allah swt kepada Rasul-Nya yang berasal dari kota-kota adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah, dan yang diharamkannya bagimu maka tinggalkanlah.” Menurut komentar Yusuf Ali, harta pemberian Allah dalam teks Alquran 59:7 ini merujuk pada properti orang-orang Yahudi dari luar wilayah Arab (yang tak mau beradaptasi dengan kultur Arab sehingga jadi ganjalan bagi warga asli Arab di Medinah). Properti mereka inilah yang secara teknis diistilahkan dengan fa’i (CMIIW) untuk merujuk kekayaan yang ditinggalkan atau diambil dari orang-orang Yahudi ini tanpa peperangan (formal). Harta macam begini layaklah disirkulasikan kepada orang-orang yang disebut dalam ayat tadi.
Dengan demikian, apa yang diberikan Allah secara cuma-cuma, kiranya tak perlu ada keberatan untuk memberikannya kepada pihak yang paling membutuhkan sehingga kekayaan tidak berputar-putar saja di antara kaum kaya. Mestinya…. kudunya… harusnya….
Pada kenyataannya, itu tidak gampang dilakukan. Sebaliknyalah yang mudah dilakukan: apa saja dikapitalisasi, termasuk agama! Kenapa bisa gitu ya?
Kalau dari bingkai perkembangan moral, ya karena orang mentok pada tahap do ut des [Ini pernah saya bahas pada posting Apa Berkahmu dan ASN Iming-iming]. Mungkin memang banyak orang yang ikut program student exchange… Akibatnya, secara psikologis juga orang dituntun untuk membalas tindakan orang lain dengan sesuatu yang kurang lebih sepadan.
Karena sudah pinjam penggorengan tetangga, besoknya kembalikan penggorengan dengan tambahan makanan hasil gorengan dengan minyak curahnya. Supaya dapat bagian kekuasaan kelak, orang mau bantulah demo-demo merongrong status quo. Karena sudah ditolong sewaktu kecelakaan, ya setelah sembuh, orang memberi bingkisan tanda terima kasih. Begitu seterusnya. Do ut des.
Lha ya bukannya itu baik ya, Rom?
O lha iya, pada kebanyakan kasus (yang baik), mutualisme adalah hal yang baik dan wajar dilakukan. Meskipun demikian, hidup beriman itu pan bukan melulu perkara jadi orang baik yang mengikuti tatanan moral loh, apalagi yang mentok pada tahap do ut des tadi.
Perayaan cinta yang disodorkan di hari Kamis Putih bin Maundy Thursday ini memorak-porandakan kriteria exchange alias balas-balasan atau gantian atau do ut des. Guru dari Nazareth meneladankan unconditional love. Maka, tindakannya membasuh kaki para murid, sama sekali bukan perkara memberi contoh kerendahhatian, apalagi soal hygiene alias kebersihan seperti umumnya dilakukan di awal perjamuan! Guru dari Nazareth melakukannya selama perjamuan, lalu menanyai murid-muridnya: “Paham gak apa yang kubuat kepada klean ini?”
Setelah selesai membasuh kaki, Guru dari Nazareth kembali mengenakan pakaiannya (tunika, jubah), tanpa melepaskan celemeknya: simbol pelayanan, yaitu pelayanan kepada kemanusiaan. Tidak ada orang yang memberikan pelayanan kepada kemanusiaan dengan cinta bersyarat bin do ut des tadi. Begitulah teladan yang dimaksud Guru dari Nazareth. Pertanyaannya bukan “apa yang bisa kudapat”, melainkan “apa yang bisa kuberikan” kepada kemanusiaan yang konkret; termasuk jika pemberian itu berarti kritik, teguran, protes yang latarnya bukan semata “apa yang bisa kudapat” lagi.
Tuhan, ajarilah kami bahasa unconditional love-Mu. Amin.
HARI KAMIS PUTIH
14 April 2022
Kel 12,1-8.11-14
1Kor 11,23-26
Yoh 13,1-15
Posting 2020: Wajah Allah
Posting 2019: Mbok Sudahlah, Wo’
Posting 2018: Bukan (Cuma) Merendah
Posting 2017: Pemimpin Retorik Doang?
Posting 2016: Krisis Bahasa Cinta
Posting 2015: Faith in The Dark
Posting 2014: Kamis Putih: Perayaan Cinta
Categories: Daily Reflection