Mbok Sudahlah, Wo’

Anda yang tidak mengerti statistik, seperti saya, sekurang-kurangnya bisa mengerti dong kalau real count dengan data sebanyak 0,0000005% dari 200 juta pemilih, memang bisa jadi Paijo hanya dapat suara 0% dan Paimin 100%. Kemenangan mutlak untuk Paimin berdasarkan real count, bukan quick count buatan lembaga bisnis yang partisan! Viva capres abadi!
Hambok sudah, Wo’. Ulangan 2014 ini bukannya bikin saya ketawa lagi karena kekonyolanmu, malah bikin makin prihatin. Jebulnya memang megalomania gak bisa sembuh dalam lima tahun. Loh kok ujug-ujug ada megalomania? Oh, enggak ujug-ujug, sudah pernah saya posting di sini. Silakan tonton videonya, dan itu mirip sekali dengan keadaan sekarang.

Prihatin saya sebetulnya bukan karena sakitnya gak kunjung sembuh, melainkan karena sakitnya itu semakin nyata melukai akademisi (yang mengerti betul statistik dan metode-metodenya) maupun rakyat Indonesia pada umumnya. Tidak cukupkah membodohi sekitar 45% pemilih dengan rangkaian hoaks ala ‘maling teriak maling’?
Tapi saya juga tidak mau masuk dalam skenario gelap pemimpin megalomania. Mulai hari ini, skenario gelap itu mesti diletakkan dalam peziarahan iman yang kerangkanya ialah cinta.

Kalau diletakkan dalam kerangka itu, saya ingat bagaimana perjamuan terakhir dilakukan Guru dari Nazareth bersama murid-muridnya: juga tragedi kehidupan mesti dihadapi dengan kebebasan hati orang-orang yang penuh cinta.
Gimana ceritanya kok sampai situ?
Saya cuma mengimajinasikan bagaimana perjamuan terakhir itu dibuat. Sudah saya singgung dalam posting empat tahun lalu: Faith Always Inclusive.

Imajinasi saya cuma berkenaan dengan posisi duduk perjamuan terakhir ini. Saya kira tak sedikit orang yang tahu sopan santun di sini tidak akan menyelonjorkan kakinya ke atas meja ketika ada tamu yang disegani atau dihormatinya. Bayangkanlah Anda seorang karyawan dan sedang bersantai dengan menyelonjorkan kaki ke atas kursi lain dan mak jegagik bos Anda datang. Segera Anda mengambil sikap duduk sopan dan menarik kaki Anda ke posisi duduk biasa.
Sebelum bos datang, Anda dalam suasana bebas, tetapi begitu bos datang, berubah suasananya.

Perjamuan terakhir dilakukan dengan posisi seperti sebelum bos Anda datang itu: santai, bebas, ceria, pesta. Seluruh partisipan berbaring dengan posisi tubuh miring dan tangan dengan mudahnya meraih makanan di meja yang kiranya diatur berbentuk semacam huruf U begitu. Posisi pesta seperti ini sudah biasa dilakukan orang Persia yang merayakan kemenangan perang dan kemudian diadopsi oleh orang-orang Yunani dan Romawi. Asumsinya, yang merayakan itu adalah orang-orang bebas, bukan kaum budak.

Menarik juga. Hanya orang-orang yang bebaslah yang merayakan pesta. Pesta sewajarnya direservasi untuk mereka yang bebas, yang merayakan kemenangan. Akan tetapi, menarik juga bahwa pemenang pemilu versi quick count masih bersabar untuk berpesta dan sebaliknya, menjijikkan sekali pihak yang kalah quick count malah menyerang lembaga survei yang bekerja dengan ilmu statistik dan kinerjanya sudah tepercaya dan itu adalah pihakmu, Wo’.

Hambokya sudah, lebih baik gentle-lah daripada membelenggu diri dengan halusinasi dan mengundang provokasi untuk mengondisikan bahwa pemilu ini permainan curang. Ini sudah kali kedua loh, mau sampai kapan? Tirulah pimpinan partai orang muda yang legowo dengan hasil quick count.

Tuhan, bebaskanlah kami dari megalomania. Amin.


HARI KAMIS PUTIH
18 April 2019

Kel 12,1-8.11-14
1Kor 11,23-26
Yoh 13,1-15

Posting 2018: Bukan (Cuma) Merendah
Posting 2017: Pemimpin Retorik Doang?

Posting 2016:
Krisis Bahasa Cinta

Posting 2015: Faith in The Dark

Posting 2014: Kamis Putih: Perayaan Cinta

5 replies