Entah umur berapa seorang anak umumnya punya kamar sendiri, terpisah dari kamar ortunya. Pokoknya ini cerita seorang anak yang mesti tidur sendiri di kamarnya dan ketika kilat dan petir menyambar-nyambar ia begitu takutnya sehingga berteriak memanggil ortunya. Kedua orang tuanya datang dan tahulah mereka si anak ketakutan. Lalu kata sang ayah begini,”Tak usah takut, Nak. Tuhan ada di sini bersamamu. Tidurlah.”
Seperti kata keramat saja, beberapa saat setelah sang ayah menyebut Tuhan, kilat dan petir berkurang; dan sang anak tenang; dan kedua ortunya kembali ke kamar mereka. Akan tetapi, tak berselang lama, kilat dan petir menyambar-nyambar lagi dan anak itu ketakutan sehingga berteriak memanggil ortunya. Kedua orang tuanya datang dan tentu mereka mengerti sang anak ketakutan. Lalu kata sang bunda begini,”Tak usah takut, Nak. Tadi kan ayah sudah bilang, Tuhan ada di sini bersamamu. Tidurlah.”
Kali ini sang anak berkomentar,”Iya Bunda, aku tahu Tuhan di sini, tetapi aku ingin seseorang yang ada kulitnya di sini.” [Mungkin ortu itu tak sedia kacang kulit atau wayang kulit di kamar anaknya, halah…]
Barangkali cerita anak itu juga relevan bagi kebanyakan orang beragama: belum bisa jadi otonom. Imannya masih sangat bergantung pada sikon di luar dirinya: pendapat orang, perintah guru, hukum agama, dan sebagainya. Apa-apa saja yang di luar itu tetap tinggal di luar dan orang-orang ini tak dapat menginternalisasikan dalam dirinya; mungkin juga karena paham pun tidak. Akibatnya, iman orang sungguh diukur dengan apa yang bisa dilihat, dipegang, dimakan, atau ditangkap dengan indra: mukjizat, kejadian ajaib, kesembuhan ‘aneh’, dan sejenisnya.
Kalau orang beragama belum otonom, ia senantiasa labil dan sumbunya pendek, mudah meledak. Hanya orang otonom yang sungguh bisa taat. Robot bisa taat tuh, Rom. Ya karena dia heteronom; hidupnya ditentukan dari luar. Saya tidak yakin menyebutnya taat atau patuh. Kalau patuh kepada Allah seperti robot, di mana keindahan hidup ini?
Ironisnya, orang yang otonominya rendah ini bisa malah berubah jadi otoriter supaya seolah-olah dia terlihat otonom. Dengan modal otoriter ini, sulitlah orang mencintai atau mengasihi Allah. Boro-boro mengasihi Allah, mencintai tetangganya sendiri mungkin juga susah. Semua mesti tunduk padanya.
Tuhan, mohon rahmat yang memampukan kami untuk menangkap cinta-Mu dan mengabdikan hidup kami bagi kemuliaan-Mu dan sesama kami. Amin.
HARI MINGGU PASKA VI C/2
22 Mei 2022
Kis 15,1-2.22-29
Why 21,10-14.22-23
Yoh 14,23-29
Posting 2019: Rumah Ibadah
Posting 2016: Salam Lebay
Categories: Daily Reflection