Aksi Cepat Tuai

Tuaian bin panenan memang banyak, tetapi pekerja sedikit, maka mintalah pekerja. Begitu kira-kira bunyi teks bacaan hari ini. Pada kenyataannya, pekerja itu ada banyak sih, cuma apa yang dikerjakannya, itulah yang jadi persoalan. Beberapa catatan mungkin bisa dipakai untuk refleksi:

  • Seperti pada narasi lain, ‘pekerja’ itu tak perlu merujuk pada orang lain, tetapi pada diri Anda dan saya sendiri. Jadinya, mohonlah kepada yang empunya kehidupan ini supaya Anda dan saya bisa jadi pekerjanya, penuai panenan.
  • Sebagai pekerja, semestinya cara pandang Anda dan saya selaras dengan cara pandang bos besar itu: hidup ini adalah medan panenan. Kalau begitu, semestinya juga orang hidup dalam kelimpahan dan bisa melihat kelimpahan itu.
  • Sayangnya, kerja memanen itu tidak sama dengan kerja nilep. Yang terakhir ini konotasinya senantiasa merujuk pada penyelewengan panen: untuk diri sendiri sekompleksnya. Alhasil, memang butuh aksi cepat tuai, tetapi Anda dan saya perlu waspada supaya tuai itu tak berubah jadi tilep.

Tahukah Anda bahwa kebanyakan negara yang begitu ‘agamis’ justru adalah negara dengan tingkat korupsi yang tinggi?Data menunjukkan begitu. Akan tetapi, apakah memang agama mengajarkan korupsi? Jelas tidak! Njuk kenapa kok negara beragama (apa pun agamanya, termasuk Katolik) malah tingkat Aksi Cepet Tilepnya cenderung tinggi?

Begini menjelaskannya, dengan rujukan teks bacaan pertama: “Mereka telah mengangkat raja, tetapi tanpa sepersetujuan-Ku. Mereka mengangkat pemuka, tetapi tidak dengan setahu-Ku.” Singkatnya, tak ada sinkronisasi dan transparansi. Kok isa gitu? Ya persis karena kelindan antara politik dan agama. Orang yang keblinger agama dengan mudah percaya begitu saja: pokoknya yang ada embel-embel agama pastilah baik, pokoknya yang memuat istilah donasi, amal, aksi sosial, itu pasti baik; dosa biar ditanggung pelakunya (lupa diri bahwa yang bersangkutan juga masuk sebagai bagian persoalan)! Padahal, baik buruk itu kan ranah moral. Orang mesti melihat sekurang-kurangnya motif, pelaksanaan, dan hasilnya. Kalau tak ada sinkronisasi dan transparansi tiga ranah itu, dijamin Aksi Cepet Tilep lebih moncer daripada Aksi Cepat Tuai.

Itu mengapa saya tidak begitu antusias dengan apa yang disebut filantropi, apalagi yang bersifat anonim (termasuk yang diakomodasi di pinggir-pinggir jalan atau perempatan jalan). Pertama, donasinya bisa jadi terkait money laundering. Kedua, pemakaian donasinya bisa jadi tak sesuai dengan intensi pemberi dan penyalur. Ketiga, yang lebih rumit, aktivitas itu bisa jadi hanya menyentuh permukaan problem keadilan sosial. Kalau ini terjadi betul, memang wajarlah agama menjadi sarang kemunafikan.

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya kami dapat terlibat menuai Sabda-Mu dalam hidup receh kami. Amin.


HARI SELASA BIASA XIV C/2
5 Juli 2022

Hos 8,4-7.11-13
Mat 9,32-38

Selasa Biasa XIV A/1 2020: Kalibrasi Hidup
Selasa Biasa XIV B/2 2018: Korban Ritualisme

Selasa Biasa XIV C/2 2016: Tendang Aja
Selasa Biasa XIV A/2 2014: Bela Rasa vs Tindakan?