¡Que viva la vida!

Published by

on

Mungkin Anda masih ingat batu petir yang menghebohkan dunia orang sakit sampai ke mancanegara sekitar satu dekade yang lalu. Itu pasti bukan satu-satunya cerita di negeri tercinta ini dan bisa terulang di sana-sini. Saya kira radar Anda lebih peka daripada radar saya dalam hal ini. Saya hanya tahu beberapa gelintir orang yang memang mendapat karunia untuk menyembuhkan orang dari sakit, entah dengan ramuan obat herbal atau dengan tangan kosong. Gelintir orang yang saya ketahui ini tidak seheboh pria penemu batu petir, tetapi sampai sekarang masih meneruskan aktivitasnya untuk membantu orang dengan jam praktik tertentu di ruangan kecil di sebuah sudut kota tempat saya tinggal. Di situ saya sempat melihat anak muda yang sewaktu datang memakai kruk karena masalah kakinya dan beberapa menit kemudian pulang dengan wajah gembira tanpa memakai kruk lagi.

Dalam perkara-perkara seperti itu, saya yakin, “Apa yang kamu terima secara cuma-cuma, berikanlah juga secara cuma-cuma.” Yang saya tak yakin, orang mengerti kalimat itu dan menerapkan dalam hidupnya. Teks bacaan kedua hari ini mungkin bisa jadi contoh.
Silakan Anda membaca teksnya sendiri, lalu cocokkanlah dengan pertanyaan yang saya sodorkan. Ini tidak hendak mengatakan bahwa saya punya tafsir paling benar atau paling baik, cuma untuk menangkap pesan saja. Pertanyaan saya sederhana: manakah bagian dari kisah yang paling menarik Anda dan mengapa bagian kisah itu menarik?

Ada sebagian orang tertarik pada soal menyentuh jumbai jubah saja sudah bikin sembuh. Ini paralel dengan minum dari air yang dicelup batu petir atau dipegang penyembuh. Menarik? Tentu menarik. Saya juga tertarik, tetapi saya malah terpukau oleh apa yang ditegaskan Guru dari Nazareth selanjutnya, “Imanmu telah menyelamatkan engkau!” Artinya, bukan air batu petir atau sentuhannya yang menyembuhkan, melainkan iman orang yang bersangkutanlah yang menyembuhkan. Bayangkanlah, ada orang yang begitu masuk kompleks rumah sakit, demamnya hilang begitu saja. Ini sungguhan.

Sebagian lagi tertarik pada momen Yesus ditertawakan; barangkali karena mereka punya pengalaman ditertawakan dan dalam hati sedang menyimpan waktu untuk membuat pembuktian, entah apa pun yang hendak dibuktikannya: agama, sains, dan sebagainya. Dengan ditertawakan dan akhirnya membungkam orang yang menertawakannya itu, mereka puas telah memenangkan sesuatu, entah sesuatunya apa.

Saya sendiri tertarik pada gerak teks yang disodorkan penulis Matius. Dibuka dengan permohonan untuk menghidupkan orang mati, disisipi kisah penyembuhan, lalu berujung pada tindakan menghidupkan orang mati. Gerak teks ini menarik saya karena memberi konteks kisah penyembuhan, seolah-olah penyembuhan itu hanyalah tahapan menuju kehidupan; dan rupanya memang begitulah kenyataannya dalam kultur Yahudi. Saya pernah sampaikan catatan pada tautan ini.

Yang membuat karunia penyembuhan itu menghebohkan justru ialah bahwa banyak orang tak menangkap gerak teks yang barusan saya bahas singkat itu: penyembuhan itu hanya sarana menuju kehidupan. Itu artinya, penyembuhan baru ada maknanya kalau orang yang sembuh itu memang menjadi hidup. Yang penting, “Orang hidup.” Akan tetapi, kebanyakan justru melawan gerak itu karena penyembuhan menjadi titik terpenting: popularitas, agama, kuasa, uang, dan sebagainya. Saya bisa merujuknya pada batu petir yang popularitasnya hanya bertahan kurang dari sewindu; dan konon pemiliknya tak sanggup mengelola uang suka rela yang dihasilkannya (itu termasuk kultur kematian, bukan sesuatu yang menghidupkan).

Di situ saya prihatin: orang mencari Yesus, tetapi tidak mengikutinya; orang mencari agama yang benar, tetapi tidak mengikuti petunjuk-petunjuknya, orang tersedot oleh popularitas, tetepi emoh mencari yang langgeng, begitu seterusnya karena orang hanya terpaku pada kesembuhan tetapi tak menatap kehidupan yang bisa memberinya kekuatan baik dalam waktu sehat atau sakit, baik dalam untung dan malang…. loh kok malah rumus perkawinan.🤭 ¡Que viva la vida!

Tuhan, mohon rahmat kehidupan yang mengatasi untung-malang dan sehat-sakit kami. Amin.


SENIN BIASA XIV C/2
4 Juli 2022

Hos 2,13.14b-15.18-19
Mat 9,18-26

Senin Biasa XIV A/1 2020: Romantika Beriman
Senin Biasa XIV B/2 2018: Komitmen Hari Gini?

Senin Biasa XIV C/2 2016: Iman Penjamin Mutu

Previous Post
Next Post