Pilihan Tak Cerdas

Teks bacaan hari ini mengisahkan pilihan yang berkebalikan dari perumpamaan minggu lalu, pilihan yang tidak cerdas. Ini cerita tentang sosok orang yang kaya yang hanya berpikir mengenai hidup hari ini tanpa mempertimbangkan bahwa hidupnya punya awal tetapi juga akhir. Akibatnya, belum juga sempat membangun persahabatan yang awet [yang tidak identik dengan memperbanyak pertemanan baik di medsos maupun di luar medsos; ini lebih perkara pilihan nilai], ia sudah keburu mati. Sosok inilah yang dalam narasi pantas diberi label karakter yang tidak cerdas dalam memilih.

Sama sekali tidak diceritakan bahwa orang kaya ini jahat, koruptor, perampas hak orang kecil, menunda pembayaran gaji, memberi janji palsu untuk mengeruk kekayaan, memutar uang jaminan sosial untuk mendapatkan komisi, dan sebagainya. Mungkin saja orang kaya ini adalah mereka yang dapat warisan luar biasa dari rezimnya dan lalu banyak berbuat amal dengan yayasan dan seterusnya. Pokoknya, perumpamaan ini tidak memberi kualifikasi apakah orang kaya ini jahat atau baik [jangan-jangan memang baik-jahat itu cuma ada di kepala orang saja ya]. Dia orang kaya, titik. Jadi, kekayaan sama sekali bukan kejahatan [atau kebaikan].

Persoalannya ialah bagaimana kekayaan itu dikelola, dan tampaknya orang kaya ini tidak memakai kekayaannya seperti bendahara yang dipecat minggu lalu itu. Bisa jadi, ia memakai kekayaannya untuk semacam ja’im atau mungkin pansos atau entah bagaimana diistilahkan, pokoknya supaya dilihat orang lain bahwa dia penuh berkat, baik, dan sejenisnya. Barangkali ini ketidakcerdasan pertama: memperbudak kekayaan supaya dipuji, disukai, diterima, menarik perhatian banyak orang [digambarkan dengan pakaian halus berwarna ungu], alih-alih supaya kekayaannya itu bisa jadi berkat bagi banyak orang. Akhirnya, uang pun bisa jadi agama populer, dari rakyat jelata sampai anggota dewan melata.

Ketidakcerdasan selanjutnya lebih ‘internal’ dari perkara pakaian: setiap hari bersukaria dalam kemewahan; bisa jadi ini merujuk pada pesta, makan enak setiap hari, seakan-akan hanya ada kenikmatan dalam hidupnya. Kesan ini bisa semakin kuat ketika perumpamaan ini ditafsirkan dengan modal moralisme, yaitu membandingkan orang kaya itu dengan Lazarus si miskin sebagai model orang yang baik, sabar, rendah hati, tabah, dan sejenisnya. Perumpamaan sama sekali tidak menerangkan bagaimana Lazarus ini jadi miskin. Ia tidak bersuara sama sekali, tidak berdiskusi dengan Abraham, pokoknya setelah mati njuk duduk di samping Abraham.

Lebih ngeri lagi jika perumpamaan itu ditafsirkan dengan pembalikan nasib di dunia akhirat: yang kaya raya menderita, yang miskin menikmati surga. Tidak ada indikasi bahwa perumpamaan itu membahas pembalikan nasib. Bisa jadi, Guru dari Nazareth juga mengenal ungkapan muda kaya raya, tua foya-foya, mati masuk surga! Bisa jadi bahkan beliau menghayatinya!
Hanya saja, caranya menghayati kekayaan, foya-foya, masuk surga itu berbeda persis karena pilihan-pilihan cerdasnya. Dalam hal ini, Yesus tidak berfokus pada perkara hidup setelah mati, tetapi justru pada perkara hidup sebelum mati: bagaimana supaya orang tidak menciptakan jurang pemisah, kesenjangan sosial di dunia ini. Kalau setelah mati, ya terlambat dong, sudah gak relevan lagi. 

Undangan itu pasti berlaku tidak hanya untuk orang kaya, tetapi juga orang miskin sendiri. Yang jelas, nama Lazarus mengindikasikan keberpihakan Allah: supaya manusia ingat bahwa kesenjangan itu bakal terus berlangsung jika manusia di dunia sekarang ini tidak cerdas-cerdas juga dalam memilih.

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan dan keberanian untuk memilih yang semati memuliakan-Mu dan memuliakan manusia. Amin.


MINGGU BIASA XXVI C/2
25 September 2022

Am 6,1a.4-7
1Tim 6,11-16
Luk 16,19-31

Posting 2019: No Island Is a (Wo)Man
Posting 2016: Agama Candu