Barangkali tak ada pejabat eselon pajak yang menyukai bacaan hari ini (kalau [mau] tahu pesan utamanya). Mau dibawa ke mana jal anunya?
Dulu saya pernah bercita-cita masuk ke sekolah tinggi akuntansi bersubsidi mengikuti kakak-kakak kelas saya. Gratis, bisa langsung kerja di biro pungutan legal [yang bisa dibikin liar]. Meskipun tak usah jadi pengusaha kawakan, pasti bisa ikut bancakan. Saya pernah mengikuti acara seperti ini dan memang menyenangkan: makanan dibagi-bagi untuk relatif banyak orang. Tentu saja, itu berarti setiap orang hanya dapat telor separuh atau bahkan seperempat. Pokoknya, semua dapat, asal kebagian wkwkwkwk.
Saya juga pernah melihat acara untuk orang-orang dewasa: semua datang membawa makanan untuk dikumpulkan, lalu berdoa bersama, dan sesudah itu orang bisa mengambil makanan mana saja yang dikumpulkan di tengah tadi. Itulah yang disebut kenduri, yang kurang lebih prinsipnya mirip: dari semua, untuk semua. Kalau acara diadakan oleh seorang suharto (su artinya baik, bisa berarti banyak; harto ya harta), bisa jadi kenduri tadi jadi ‘dari satu untuk semua.’ Tentu, Anda berhak bertanya, dari mana suharto ini memperoleh hartanya; jangan-jangan ya dari semua tadi tanpa mereka sadari akibat terjerat senyum suharto ini.
Andaikan Indonesia ini, dari Sabang sampai Merauke, seperti piramida gunungan kenduri: pajak ditarik dari Sabang sampai Merauke, dikumpulkan di Jakarta. Ke mana semestinya pajak ini mengalir? Ya kembali lagi dari Sabang sampai Merauke. Idealnya itu untuk kesejahteraan bersama. Idealnya. Sekali lagi, idealnya. Pada kenyataannya, bisa jadi sebelum sampai ke Sabang dan Merauke, rontok dulu di jalan. Selain itu, yang bikin gunungan kenduri itu kan gak semua. Nah… kerennya, petugas yang bikin itu dapat bayaran yang tunjangannya jauuuuuuh berlipat-lipat daripada mereka yang memberi bahan gunungan kenduri.
Saya tidak hendak berpikir naif bahwa tunjangan kinerja petugas pajak eselon satu, andaikanlah, 120 juta rupiah itu berarti bahwa setiap bulan dia akan mendapat 120 juta rupiah. Tentu disesuaikan dengan kinerjanya dong. Nah, itu persoalan saya: bagaimana menentukan bahwa kinerja pembuat gunungan kenduri berpuluh-puluh kali lipat dari mereka yang menyediakan bahan kenduri ya?
Lha pemberi bahan kenduri kan cuma setor 5-30% penghasilannya, proporsional, relatif tidak banyak.
Iya, tapi kalau jumlah penyetor 20 juta saja dikali 3 juta saja, kan juga nilai gunungan kendurinya sudah berapa saja sih? 60 trilyun saja? Nah, itu bukan hitungan nyata terhadap aneka pajak. Konon, tahun lalu penerimaan pajak sekitar dua ribu trilyun rupiah. Bisa ambil 0,0001 persen saja lumayan kok. Kecil loh itu, gak ada setengah persen!
Kira-kira bisa dimengerti mengapa pemungut cukai dibenci oleh orang Yahudi pada masa hidup Yesus: mereka bisa foya-foya di atas penderitaan rakyat, bahkan meskipun belum ada moge [mungkin ada, terbuat dari tauge]. Tentu ada alasan lain karena konteks hidup mereka ada di bawah penjajahan bangsa lain. [Apa malah bukan lebih parah dijajah bangsa sendiri ya?]
Bacaan-bacaan hari ini bisa saja dihubung-hubungkan dengan gunungan bancakan, tetapi pesan utamanya jelas menantang mentalitas atau gaya hidup tertentu pengguna bancakan. Transformasi hidup seseorang tak bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan hitung-hitungan bancakan, baik dalam mengumpulkan maupun dalam membagikannya. Orang boleh saja berdebat mengenai besaran tunjangan atau transparansi dan lain sebagainya, tetapi itu semua bisa diakali dengan kalkulasi yang dimanipulasi kepentingan simulasi hidup; orang gak hidup betulan. Transformasi itu juga mengandaikan orang mengambil jarak dan tidak dikacaukan oleh kalkulasi tadi [maka orang butuh healing atau retret atau saat teduh untuk kembali menimbang-nimbang apa yang esensial dalam hidup].
Dengan begitu, sesungguhnya, toh kalau memang dikalkulasi tunjangan kinerja saya besarnya bisa berpuluh kali lipat tunjangan kinerja guru di pelosok, misalnya, jika itu diterima, alangkah baiknya tunjangan itu didedikasikan untuk mereka yang sulit hidupnya. Kalau itu pun tidak bisa, sekurang-kurangnya gaya hidup saya tidak menonjolkan mental rebutan 0,0001% bancakan tadi dan pamer di medsos. Ini saran saya untuk saya.
Tuhan, mohon rahmat keberanian untuk melakukan transformasi hidup supaya hidup kami tak menjadi batu sandungan bagi sesama, terutama mereka yang menderita. Amin.
Minggu Prapaska II A/1
5 Maret 2023
Kej 12,1-4a
2Tim 1:8b-10
Mat 17,1-9
Posting 2020: Allah Pahit Manis
Posting 2017: Anak Babi?
Posting 2014: Apa Itu Panggilan Suci?*
Categories: Daily Reflection