Melenguh

Published by

on

Ini bukan kisah rekayasa tentang raja sambat. Seorang anggota komunitas biara, sebut saja Santo, punya kebiasaan nyentrik dalam hal makan, baik makan di dalam biara maupun di luar biara. Jika mereka berkesempatan makan bersama di rumah makan, Santo begitu jeli memesan menu makanan yang customized. Nasinya paket A, lauknya paket B, sayurnya paket C, dan seterusnya. Jika di biara hanya tersaji ikan, ia mengeluh amis dan kemudian minta daging. Jika tersedia daging, ia mengeluh dagingnya keras atau terlalu banyak minyaknya. Jika tersedia daging rebus, ia sambat karena rasanya hambar. Pokoknya, apa yang tersaji di meja makan tak pernah lepas dari gerutu. Emoh ini emoh itu.

Menengarai kebiasaan buruk itu, pimpinan komunitas memberikan saran kepada Santo untuk datang saja kepada koki dan menyampaikan apa yang dia ingin santap dan bagaimana memasak dan menyajikan makanan yang Santo kehendaki itu. Jawaban Santo menunjukkan hakikat pribadinya, “Saya tidak (akan) menuntut apa-apa dari siapa pun.”
Betul juga, kalau Santo menjelaskan apa yang diinginkannya dan koki memenuhi permintaannya, gimana dia punya alasan untuk mengeluh, bukan?

Kalau Descartes menengarai hakikat eksistensi manusia dengan kalimat “Aku berpikir, maka aku ada,” Santo ini menunjukkan dirinya dengan kalimat “Aku mengeluh, maka aku ada.” Begitu tak ada alasan untuk mengeluh, Santo kehilangan jati dirinya karena tak bisa lagi melenguh “Moooooh….”

Anda dan saya mungkin bukan seorang santo, tetapi bisa jadi punya tendensi seperti Santo. Jika tidak hati-hati, tendensi itu lama kelamaan akan mengikis otonomi Anda dan saya karena cara kita mengambil keputusan dan bertindak ditentukan oleh keadaan atau kondisi di luar (cuaca, makanan, tempat, budaya, uang, dan seterusnya).
Orang yang kehilangan otonomi hanya bisa hidup dalam ketergantungan, tetapi tidak dalam kesalingtergantungan. Di situ, keluhan tidak pernah ditransformasi sebagai kritik, baik untuk lingkungan maupun untuk diri sendiri. Akibatnya, pertimbangannya cenderung menghasilkan penilaian dan keputusan yang ekstrem: terlalu hambar, terlalu asin, terlalu panas, terlalu dingin, terlalu sedikit, terlalu banyak, dan seterusnya.
Pada kenyataannya, bisa jadi di sana sini ada yang terlalu. Akan tetapi, kalau yang keterlaluan itu terjadi terus menerus di sana sini, jangan-jangan yang mengeluh tadi sudah keterlaluan.

Tuhan, semoga hidup kami bisa sungguh mewujudkan syukur kami atas cinta-Mu yang memuat aneka ketidaknyamanan dalam kepicikan hati dan budi kami. Amin.


JUMAT ADVEN II
13 Desember 2024

Yes 48,17-19
Mat 11,16-19

Posting 2020: Kritik
Posting 2019: Salah Obat?
Posting 2018: Resonansi Agama

Posting 2017: Lipstick Mana Lipstick
Posting 2016: Pelahap Neraka
Posting 2015: Kebal Kritik, Bebal mBribik

Posting 2014: Pernah Patah Hati Gak Sih?

Previous Post
Next Post