Salah Obat?

Kemarin ada tetangga yang ingin memulangkan papanya. Dua tahun belakangan ini gak pulang. Dua kali reuni absen. Selisik punya selisik, dia tak mengakui ketua RT yang terpilih secara demokratis. Tambah lagi, komplotan papanya yang suka reuni ini malah nyinyir bahwa ketua RT dan stafnya adalah representasi kaum zalim, tiran, represif, otoriter. Anehnya, menilai ketua RT dan stafnya zalim dan tiran, lha kok ya mendesak mereka untuk memulangkan papanya. Yang lebih tiran ini siapa ya?
Daripada mikirin papa receh itu, saya bilang relakan saja papanya dan kembali ke bisnis biasanya membuat kue pancung. Tetangga saya ini mungkin memang kembali membuat kue pancung. Semoga hasilnya kue, bukan hukum. 

Saya cuma mau menilik teks bacaan hari ini yang menunjukkan bagaimana gemesnya Guru dari Nazareth terhadap mereka yang nyinyir tanpa menunjukkan itikad baik untuk bertobat. Apa-apa saja ditimpakan kepada pihak lain, bahkan penimpaan itu bisa jadi tanpa pembuktian.
Perubahan hidup orang memang bisa dipicu oleh hal atau orang lain di luar dirinya. Melihat orang lain yang untuk makan saja susah, seseorang bisa jadi memutuskan batal meluncur ke restoran mahal (tapi bisa jadi juga karena hapenya ketinggalan sih). Seseorang bisa saja semula sangat anti pada tempat ibadat, tetapi hanya karena satu kedipan mata seseorang lainnya dia jadi kranjingan ke tempat ibadat, sekurang-kurangnya ke parkirannya. Akan tetapi, yang memungkinkan perubahan terjadi adalah api dalam diri orang sendiri.

Dulu saya cuma dengar jahatnya narkoba, sekarang saya mengerti secara eksistensial apa artinya penyalahgunaan obat. Pihak nyinyir yang disinggung Guru dari Nazareth ini sepertinya adalah orang-orang yang menyalahgunakan obat, yang nyawanya melayang-layang di pinggiran akalnya. Dipancing untuk hidup prihatin, nyinyirannya ketidakadilan. Disemangati untuk hidup santuy, nyinyirannya ketidakadilan juga. Begitulah penyalahgunaan obat, yang intinya membantu orang melarikan diri dari dirinya sendiri. Obat itu bisa bernama agama, antimo, a*bon, apalagi lah…

Jelas, problem tidak terletak pada obat, melainkan penggunaannya; dan persis itulah yang disinggung Guru dari Nazareth. Itu adalah suatu generasi yang cuma bisa nyinyir terhadap produsen obat, tetapi sendirinya tidak melihat petunjuk pemakaian wajar.
Baiklah, nanti saya sampaikan pada tetangga yang rindu papanya: kalau orang overdosis, nyawanya bisa terlepas dari badannya. Mungkin bagus juga kalau papanya sampai situ. Yang bikin runyam justru yang nanggung-nanggung: nyinyir dengan logika buntung. Yang konkret dihindarinya, yang semu malah dianggapnya konkret.

Begitu juga obat yang bernama agama. Kalau orang cuma memakainya untuk kesalehan ritual, hidupnya melayang-layang dan kesalehan sosial kabur. Kalau cuma sibuk dengan soal sosial, ia tak ubahnya lembaga swadaya masyarakat.
Ya mending LSM kan, Rom, berdampak bagus pada banyak orang?
Bom atom juga berdampak pada banyak orang. Bagus jeleknya, bergantung menurut siapa, kan?
Kalau mau yang tidak bergantung menurut siapa, ya orang mesti kembali ke fitrahnya, kembali ke lubuk hatinya yang senantiasa terbuka untuk berkomunikasi dengan sapaan ilahi. Nah, sudah sampai ilahi, maka disudahi saja.

Semoga semakin banyak orang yang hatinya tersedia bagi yang ilahi dalam hal insani. Amin.


JUMAT ADVEN II
PW S. Lusia
13 Desember 2019

Yes 48,17-19
Mat 11,16-19

Posting 2018: Resonansi Agama
Posting 2017: Lipstick Mana Lipstick
Posting 2016: Pelahap Neraka
Posting 2015: Kebal Kritik, Bebal mBribik

Posting 2014: Pernah Patah Hati Gak Sih?