Beberapa hari lalu saya menulis soal kekhawatiran akan kekhilafan. Yang saya khawatirkan bukan sistem khilafahnya, melainkan orang-orang yang punya kuasa, yang menjalankan sistem khilafah itu. Padahal, ketakutan atau kekhawatiran tidak bikin orang move on. Khawatir tentang power tends to corrupt malah bikin orang gak maju-maju. Kalau mau maju, gak usah takut pada sistem khilafah maupun orang-orang yang punya kuasa menjalankannya. Bikin saja dalam sistem itu supaya kemungkinan tendensi korup penguasanya diminimalkan.
Andaikanlah sistem khilafah punya fleksibilitas untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan modernitas. Salah satu fitur modernitas ialah kenyataan adanya diferensiasi bin pembedaan fungsi karena pluralitas atau diversitas masyarakat. Gak mungkin dong kota modern ditata dengan paradigma adat. Mosok Anda jalan-jalan di mal menenteng sepatu atau sandal sebagaimana di kampung adat Anda tak boleh menyentuh lantai dengan alas kaki? Pertama, ini zaman now. Kedua, Anda tidak sedang terapi telapak kaki. Ketiga, Anda bukan Nabi Musa yang mesti melepaskan kasutnya di depan semak bernyala.
Kalau di negeri majemuk ini hendak dibangun negeri religius, saya kira malah jadi runyam. Akibatnya malah paradoks seperti disodorkan teks hari ini: Elia sudah datang, tetapi orang tak mengenalnya. Itu nabi yang diyakini orang Yahudi sebagai sosok yang menyiapkan kedatangan Mesias.
Saya tidak hendak membahas klaim Mesias Yahudi, Kristen, dan Islam. Yang saya mau tunjuk adalah galfoknya orang beragama sehingga malah luput menangkap jalan-jalan yang sebetulnya ditawarkan Allah sendiri. Jalan itu adalah jalan nalar. NKRI adalah salah satu jalan nalar itu.
Sudah saya uraikan suatu tahap perkembangan iman menurut Fowler dan saya tegaskan bahwa iman tidak bersifat linear; usia tidak otomatis membuat pengalaman orang jadi lebih beriman. Pada banyak kasus yang menyangkut agama, orang berkubang pada tahap ketiga. Jika dipadukan dengan kekuasaan yang punya otoritas menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak, tanpa nalar, hidup Anda kelar!
Anda sebagai pemilik restoran Katolik, katakanlah begitu, tentu berhak melarang pengunjung membawa makanan dari luar dan menyantapnya di restoran Anda karena prinsip bisnis. Fine. Nalar.
Akan tetapi, kalau Anda melarangnya karena aturan Katolik, Anda malah melanggar sendiri klaim bahwa agama tidak memaksa. Sangat tidak nyaman bagi yang lain. Kalau Anda menganggapnya wajar karena restoran itu milik Anda, Anda membuat demarkasi. Yang Anda katolikkan bukan cuma makanan dan orang-orangnya, melainkan juga tembok bangunannya.
Bukankah hidup ini lebih membahagiakan kalau Anda mengatakan bahwa restoran Anda hanya menyediakan makanan halal dan siapa pun boleh membelinya? Mengapa mesti bikin runyam dengan aturan diskriminatif?
Kenapa sih bahan penistaan mesti diperluas dalam ranah fisik, tetapi tidak dalam ranah nalar (bahwa agama menjadi rahmat bagi semua)? Memang memprihatinkan, tetapi begitulah kejamnya tahap ketiga perkembangan iman. Tentu, bisa juga ini perang bisnis dengan tameng agama. (Apa malah bukan penistaan agama?)
Saya belajar dari Hindu Bali, yang menyucikan sapi, tetapi toh mengakomodasi restoran yang menyajikan steak sapi di tanah yang mayoritasnya umat Hindu Bali itu.
Tuhan, mohon rahmat penalaran supaya kerahiman-Mu dialami semakin banyak makhluk-Mu. Amin.
SABTU ADVEN II
PW S. Yohanes dari Salib
14 Desember 2019
Posting 2018: Tumbangnya Nalar
Posting 2017: Kau Bercanda Lucunya
Posting 2016: Merintis Neraka
Posting 2015: Antara Wife dan WiFi
Posting 2014: Masih Mau Menyombongkan Diri?
Categories: Daily Reflection