Kebanyakan pengemis menjalankan profesinya demi kepentingan perut, baik perut sendiri maupun perut gerombolannya. Hanya sedikit saja yang mengemis bukan demi survival, itu juga kalau cinta bisa dibilang bukan survival. Dari sekian banyak pengemis di dunia ini, mungkin tak ada yang mengemis kebijaksanaan. Yang saya jumpai sebaliknya: kalau Anda memberi uang kepada pengemis, Anda akan didoakan on the spot supaya Anda enteng jodoh dan banyak rezeki. Itu mengapa saya rada malas memberi uang kepada pengemis; doanya gak ngenakin saya, seakan-akan saya berat jodoh dan sedikit rezeki!
Meskipun demikian, bisa jadi tak ada pengemis yang meminta kebijaksanaan karena pengemis itu memang sudah punya kebijaksanaan. Betul kan ya? Tidak ada orang meminta-minta sesuatu yang dia sudah punya, kecuali koruptor. Eh, gak juga ding ya karena koruptor pun meminta-minta sesuatu yang dia gak punya. Uang dia tentu sudah punya, tetapi uang milik rakyat yang belum masuk kantongnya, itu kan belum punya dia. Jadi, koruptor pun tetap mencari sesuatu yang dia belum punya. Nah, pengemis-pengemis macam begini punya kebijaksanaan juga: kalau orang terus menerus minta, cari, dan ketuk pintu, akhirnya mesti ada orang lain yang terketuk atau terthuthuk.
Teks bacaan utama hari ini mengendorse persistensi orang untuk meminta, mencari, dan mengetuk pintu. Rupanya itu adalah tiga istilah untuk satu hal yang sama dalam tradisi Yahudi: doa. Kata ‘mencari’ kerap dipakai dalam Kitab Ibrani sebagai doa dengan objek pencariannya kehendak Allah (bdk. Ul 4,29; Mzm 105,4; Yes 65,1). Begitu juga dengan ‘mengetuk pintu’ dan ‘memohon’ yang dimengerti sebagai tindakan doa. Jadi, tiga kata kerja tadi bukan tahapan pengalaman rohani, melainkan tiga ungkapan Yahudi mengenai doa.
Kerennya ialah bahwa sinonim ‘mencari’ dan ‘mengetuk’ itu menggarisbawahi tindakan ‘meminta’ bukan sebagai kegiatan menyodorkan proposal beasiswa atau daftar belanja atau resep obat ke apotek. Doa adalah pencarian dalam pengharapan, bukan persuasi dengan aneka informasi. Keterangan pada ketiga kata itu menjelaskan aspek ilahi dan manusiawi: “akan diberikan kepadamu” dan “akan dibukakan bagimu” merujuk Allah sebagai aktor, sedangkan “akan menemukan” menunjukkan peran subjek yang meminta.
Jadi, tindakan ilahi dan tanggung jawab manusia bukan dua hal terpisah. Doa permintaan kebutuhan manusia kepada Allah bukanlah untuk memberi tahu atau mbribik, melainkan ekspresi relasi orang beriman dengan Allah sebagai anak-anak yang bergantung pada-Nya. Dengan demikian, ngemisan bisa jadi aktivitas doa jika dipraktikkan dalam konteks relasi cinta dinamis sebagaimana terjadi antara anak dan orang tua. Doa yang ditempatkan di luar konteks seperti itu, juga jika dilakukan dengan ngemisan, jatuhnya hanya pada ritualisme, formalisme, atau malah transaksionalisme yang sangat politis. Tentu saja, dimensi politis doa ada, bukan sebagai transaksi, melainkan sebagai penguat kesadaran akan kebutuhan Sang Khalik dalam hidup ini.
Semoga hidup Anda dan saya dibebaskan dari belenggu manipulasi doa di negeri yang mementingkan agama ini. Amin.
HARI KAMIS PRAPASKA I
13 Maret 2025
TambEst 4,10a.10c-12.17-19
Mat 7,7-12
Posting 2020: Saat Tuhan Berdoa
Posting 2019: Mengais Suara Golput
Posting 2017: Tuhannya Nganu
Posting 2016: Vending Machine God
Posting 2015: Doa Jamu Air Manjur
Posting 2014: Praying Heart Implies Humility
