Bossy Minister

Published by

on

Beberapa puluh tahun lalu kami memiliki rencana untuk bepergian sebagai kegiatan dua tahunan untuk membangun kebersamaan dalam komunitas. Anggaran, tempat, acara, dan aneka persiapan lain sudah selesai, termasuk pembayaran di muka sudah kami lakukan. Seminggu sebelum keberangkatan, hujan di DKI tahun itu tampak seperti anomali dan di beberapa wilayah yang biasanya tak terkena banjir, tahun itu kebanjiran. Tempat kami tinggal sendiri bebas dari banjir, sekurang-kurangnya di jalan kompleks kami ketinggian air saat hujan hanya selutut bayi [dah kayak penggaris aja nih bayi]. Artinya, musim hujan saat itu, betapapun parahnya, tidak membuat situasinya jadi darurat nasional.

Meskipun demikian, pada minggu itu juga kami mengadakan pertemuan dan salah seorang anggota komunitas kami menyampaikan uneg-unegnya. Ia tidak merasa nyaman untuk ikut rencana kegiatan yang sudah kami sepakati dan bayar sebagian karena situasi banjir di beberapa wilayah DKI. Di akhir pertemuan itu kami putuskan untuk membatalkan rencana kegiatan kami ke tempat yang sampai sekarang saya tak pernah menginjakkan kaki. Tampaknya itulah satu-satunya kesempatan saya bisa ke sana.

Saya memandang tindakan teman yang menyampaikan uneg-ungegnya itu sebagai tindakan solidaritas. Tindakan solidaritas tidak membuatnya ikut berbanjir air coklat di daerah langganan banjir, tetapi membuat empatinya tak mengendorse rencana kegiatan kami. Dia punya sense of crisis yang menantang kami untuk meninjau ulang rencana kegiatan kami. Solidaritas inilah yang saya rasa absen dari para pejabat yang menikmati jabatan sebagai capaian mereka. Mereka kehilangan sense of crisis dan semua polah mereka hanya diukur dengan apakah sudah sesuai dengan prosedur, apakah melanggar aturan atau tidak. Semuanya diukur dengan aturan dan bisa jadi aturannya sendiri dibuat dalam situasi absennya sense of crisis, atau krisisnya dimengerti hanya sejauh bersinggungan dengan kepentingan status quo mereka.

Jika betul begitu, ini pertanda tidak baik: bangsa ini ditata oleh pelayan, asisten, wakil rakyat, aparat, yang mempersepsi dirinya bukan sebagai pelayan, asisten, wakil rakyat, atau aparat, melainkan sebagai pejabat yang berhak mendapat fasilitas publik. Ini sangat ironis: bossy minister. Tentu itu bukan pernyataan mutlak, tetapi bisa berfungsi sebagai kontrol terhadap Anda dan saya yang mungkin lupa diri bahwa hidup kita tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi homo homini lupus (manusia serigala bagi manusia lain), melainkan homo homini servus.
Lha trus, kalo’ semua orang jadi servus alias pelayan, siapa yang dilayani dong, Rom?
Ya Tuhanlah, siapa lagi?

Kerennya, melayani Tuhan itu babar blas tidak bisa direduksi pada aktivitas kultik, tetapi merengkuh layanan publik yang tidak diskriminatif khususnya bagi mereka yang miskin, lemah, tersingkir, dan difabel (ini sudah seperti slogan belum ya), Semoga semakin banyak orang yang terbebas dari mentalitas bossy minister. Amin.


HARI SELASA PRAPASKA II
18 Maret 2025

Yes 1,10.16-20
Mat 23,1-12

Posting 2021: Bukan Riang Riyā’
Posting 2020: Virus Coro
Posting 2018: Agama Ciyus
Posting 2017: Akal Budi/Bulus

Posting 2016: Agama Songong
 
Posting 2015: Makin Tinggi, Makin Melayani

Posting 2014: Tobat: Lebih dari Sekadar Kapok…

Previous Post
Next Post