Prinsip

Published by

on

Saya kutipkan pengalaman perubahan paradigma seperti dituturkan Frank Kock dalam majalah Proceedings terbitan The US Naval Institute. “Dua kapal perang yang ditugaskan ke skuadron pelatihan telah berada di laut untuk melakukan manuver dalam cuaca buruk selama beberapa hari. Saya bertugas di kapal perang utama dan berjaga-jaga di anjungan saat malam tiba. Jarak pandang sangat buruk dengan kabut yang tak merata sehingga kapten tetap berada di anjungan, mengawasi seluruh aktivitas. Tak lama setelah gelap, pengintai di sayap anjungan melaporkan,”Cahaya, di haluan kanan.”
“Apakah cahaya itu stabil atau bergerak ke buritan?” tanya Sang Kapten.
Pengintai menjawab,”Stabil, Kapten.” Itu berarti kami berada di jalur tabrakan membahayakan dengan kapal itu.
Sang Kapten kemudian memanggil petugas sinyal,”Beri tanda pada kapal itu: kita berada di jalur tabrakan. Sarankan: Anda ubah arah 20 derajat.”
Datang sinyal jawaban,”Anda disarankan mengubah arah 20 derajat.”
Sang Kapten membalas,”Kirim: Saya Kapten, ubahlah arah Anda 20 derajat.”
Sinyal jawaban berbunyi,”Saya pelaut kelas dua, tetapi sebaiknya Anda yang mengubah arah 20 derajat.”
Saat itu, Sang Kapten marah besar. Ia meludah dan memberi perintah,”Kirim: saya kapal perang! Ubahlah arahmu 20 derajat!”
Terlihat sinyal balasan,”Saya adalah mercusuar.”
Kami pun mengubah arah.

Pesan cerita itu sangat kuat: hukum rimba memang menempatkan kapten di atas kelasi, tetapi baik kapten maupun kelasi tidak bisa melawan prinsip kebenaran bahwa yang bisa mengubah arah adalah kapal, bukan mercusuar. Sayang sekali, cerita seperti ini, juga cerita semacam menyembelih angsa bertelur emas, tak mampu bicara banyak kepada orang yang memang tak mau belajar (membaca). Di saat pengamat dan ahli bicara berbasis data mengenai gelapnya Kokononohaha, para Kapten kapal sibuk dengan status quo dan membela mati-matian dengan aneka pernyataan manis, seakan-akan pengamat dan ahli tadi hanyalah segerombolan orang yang tak suka kepada penguasa.

Teks bacaan utama hari ini menyodorkan perseteruan antara orang-orang Yahudi dan sosok yang disebut Yesus dari Nazareth dan yang kedua ini jelas tak terpahami oleh penikmat status quo dan ketidakpahaman itu membuat mereka hanya bisa memberinya label Yesus sebagai penista agama karena menyamakan dirinya dengan Allah dan meniadakan hari Sabat. Perseteruan ini menegaskan identitas Yesus sebagai pihak yang berikhtiar untuk menjalani hidupnya semata-mata dalam relasi erat dengan Allah, yang disebutnya sebagai Bapa. Ini tidak perlu, kalau bisa, dimengerti sebagai upaya untuk menaati perintah Bapa, tetapi usaha untuk mewujudkan relasi intim dengan Allah itu sehingga hidupnya menyerupai hidup ilahi. Identitas seperti ini tak terpahami oleh siapa saja yang paradigma hidupnya seperti Kapten kapal perang tadi.

Tuhan, mohon rahmat supaya kami mampu membangun identitas diri kami dalam relasi cinta-Mu. Amin.


HARI RABU PRAPASKA IV
2 April 2025

Yes 49,8-15
Yoh 5,17-30

Posting 2021: Allah Gabut?
Posting 2019: Ukhuwah Insaniyah
Posting 2018: Cara Hidup Sukses
Posting 2017: Cinta Ah-Nies

Posting 2016: Mari Menggambar Allah 
Posting 2015: No God without Love

Posting 2014: Stay Focused

Previous Post
Next Post